Esai Dani Maulana | Toleransi Beragama di Toilet

 

S

eperti ekor cumi yang masih meninggalkan tinta hitam walau sudah tergeletak di atas piring nasi, menulis membuat si penulis abadi. Semoga cerita satu ini berhasil aku tulis dengan baik. Aku coba mengingat kejadiannya kembali setelah selesai makan siang, satu piring nasi ditambah sayur cumi yang kuahnya hitam seperti air comberan.

Namaku Dani. Sedangkan yang aku ceritakan adalah Daniel. Daniel Natanael Pardede nama lengkap pemberian keluarganya. Aku lahir tahun 1990 dan Daniel lahir delapan tahun kemudian. Aku sudah bisa main air sedangkan Daniel masih berbentuk air.

Daniel adalah nonmuslim yang aku ajak masuk masjid karena kebelet pipis. Sebelum dia menanyakan adakah toilet di sekitar sini, aku tunjukan pohon besar yang berdiri kokoh dan tepercaya di seberang jalan, malah dia memilih diantar ke toilet. Akhirnya, kami putuskan tanpa pemilu, perhitungan cepat, ataupun sidang MK untuk segera mencari toilet yang terdekat. Iya, toilet yang ada di Masjid.

Jarak dari tempat kami berdua bertemu sampai menuju masjid terdekat tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu tiga setengah abad untuk lepas dari penjajahan Belanda. Kami berdua hanya perlu masuk menyusuri gang kecil. Aku melangkahkan kaki dengan pasti. Langkah yang besar menuju masa depan yang lebih baik. Berbeda dengan Daniel yang melangkahkan kakinya sesempit mungkin untuk menahan air keluar sebelum sampai tempat pembuangan.

Kamu bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya kebelet pipis, tubuh yang bergetar sendiri seperti sedang kedinginan, keringat dingin yang mengalir akibat menahan sesuatu yang tertahan. Oh, Daniel, kebelet pipis lebih menyakitkan dibanding kebelet nikah dengan mantan.

“Boleh masuk, Mas? Tapi, saya kan…” awalnya Daniel ragu karena mungkin dia nonmuslim, mungkin juga karena dia tidak pernah tahu kalau di masjid tempat ibadah orang muslim ada toiletnya. Atau dia merasa takut ketika masuk masjid dengan otomatis dia akan dianggap orang muslim.

“Ini rumah Allah, siapa pun orangnya boleh masuk,” aku berusaha menyakinkan dengan tatapan penuh kasih. Daniel membalas tatapan itu dengan raut wajah meringis yang aneh khas orang kebelet pipis.

“Sepatunya dilepas Niel! ini batas suci,” kataku sambil menunjuk ke arah sepatu yang lusuhnya. Daniel pun menurut dan langsung masuk toilet. Andaikan saja dia melawan, mungkin sepatunya akan aku lepas secara paksa. Sekalian juga aku lepas celana dan bajunya.

Aku menunggu di serambi depan masjid. Oh, betapa menyesalnya kini, setelah sadar untuk apa waktu itu aku menunggu orang buang air. Itu sama saja menunggu tim nasional Indonesia masuk piala dunia. Yang aku pikirkan saat itu adalah bagaimana kalau aku yang ada di posisi Daniel. Aku yang kebelet pipis harus masuk ke gereja hanya untuk buang air kecil. Mungkinkah aku juga akan ragu masuk ke gereja. Mungkinkah juga Daniel menyakinkanku dengan tatapan kasih jenuhnya. Mungkinkah juga Daniel menyuruhku melepaskan alas kaki. Semoga aku tidak seperti Daniel yang masuk ke rumah ibadah agama lain hanya untuk buang air.

Setelah selesai semua wajah Daniel terlihat lega sekaligus sumringah seperti orang yang bebas dari cicilan hutang bank. Daniel mengucapkan banyak terima kasih. Terlebih dari kejadian ini dia menjadi mengerti arti toleransi beragama yang sesungguhnya.

Siapa aku? Siapa Daniel? Siapa Kamu? Kita hanya hamba yang semestinya tidak memaksakan dirinya yang paling benar. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.


___
Biodata Penulis

Dani Maulana, pengusaha jasa menaikkan jumlah subscribe dan jam tayang YouTube.


Postingan Populer