Cerpen Rahma Azmina | Tak Kunjung Kembali
Banten Raya, Juli 2022
Hujan membasahi jalan semalaman. Terlihat jelas guyuran hujan yang masih tersisa di dedaunan. Anak berambut hitam sebahu berlarian dengan riangnya, ia diikuti pria yang telah termakan usia. Rambutnya memutih, wajahnya dipenuhi keriput yang tak dapat disembunyikan. Walau begitu, ia mengiyakan permintaan cucunya.
“Cyla, hati-hati!” Ucap sang kakek mengkhawatirkan cucunya, tampak jelas dari raut wajah.
“Kakek tenang aja, Cyla ini jago kekk! Jadi ngga bakal jatuh,” jawab Cyla dengan bersemangat menunjukkan kemampuannya.
“Gubrakkk!”
“Aduhhh huaa sakit!” Cyla terjatuh sambil menangis kesakitan.
Dengan sigap, sang kakek menenangkan cucunya lalu mengajak ke dalam Rumah guna mengobati luka.
“Cup cup cupp cucu kakek kan kuat, jangan nangis lagi yaa.” Kakek mencoba menenangkan Cyla.
Tak lama, Cyla berhenti menangis. “Hmm iya kek.” Jawab Cyla menahan sakit sambil memberhentikan tangisnya.
Cyla anak perempuan bertubuh mungil, berambut hitam bergelombang dengan panjang sebahu itu sangat menyayangi kakeknya.
“Bepp bepp.” Terdengar suara klakson mobil.
“Assalamu’alaikum!” tak lama terdengar suara ketukan pintu dengan ucapan salam.
“Wa’alaikumussalam.” Jawab kakek.
“Abah, gimana kabarnya?” tanya pria berambut hitam jangkung sambil membungkukkan badan untuk Salim.
“Alhamdulillah, baik. Aslan, Amira dimana?”
“Abah, Amira disini.” jawab perempuan berambut coklat bergelombang yang diikat sambil menghampiri kakek, yang tak lain ayah wanita tersebut. “Duhh kangen sama Abah!” lanjut Amira.
Cyla berlari menghampiri sambil memeluk erat Aslan dan Amira seraya berkata, “sama Cyla ayah bunda ngga kangen?” ucapnya dengan nada manja.
“Kangen dongg pastinya,” jawab Aslan dan Amira kompak sambil tertawa melihat tingkah sang buah hati.
“Pasti capek abis perjalanan jauh, kalian istirahat saja dulu.
“Kami mau menemui Emak dulu Abah, “
“Emak ada di dapur, sedang memasak.”
Aslan dan Amira berjalan menuju dapur, sesampainya mereka menepuk pelan pundak wanita paruh baya yang rambutnya juga memutih.
“Assalamu’alaikum Emakk.” Ucap keduanya memelankan suara yang tak mau mengagetkan dan membuat jantungnya copot.
“Wa’alaikumussalam.”
“Wahh jadi kangen masakan Emak.” Ujar Amira mengendus bau masakan.
“Yasudah, kalian makan yaa. Kebetulan masakannya udah matang semua.”
***
“Enak banget masakan Emak!” ucap Amira.
“Iya Bunda, pastinya!” sahut Cyla.
Kakek melihat Aslan dan Amira kikuk, “ada apa Aslan, Amira? Kelihatannya ada yang ingin kalian bicarakan?”
“Iya Abah, tapi sehabis makan aja.” Jawab Aslan.
Kakek dan Nenek paham betul kalau tingkah mereka seperti ini, pasti serius. Sedangkan Cyla yang masih berumur lima tahun tidak mengerti apa-apa, ia hanya fokus menikmati makanannya.
Matahari mulai meninggi, memancarkan cahayanya.
“Hoamm,” Cyla menguap.
“Sini Cyla, biar Nenek temani tidur.” Ajak Nenek.
Usai Nenek dan Cyla meninggalkan ruang makan, Kakek membuka obrolan.
“Jadi, apa yang ingin kalian katakan hingga harus menunggu dahulu?”
“Jadi gini Abah, Cyla akan kami masukkan ke Sekolah di Jakarta.” Aslan mencoba menerangkan maksudnya.
“Abah paham. Tapi kenapa tidak di sini saja, di Bandung?”
“Kami ingin membiasakan Cyla dengan suasana di sana Abah, bagaimanapun tempat tinggal Cyla di Jakarta.” Amira bantu menjelaskan.
“Baiklah, kapan kalian akan membawa Cyla?” tanya Kakek menginterogasi.
“Besok Abah—“ Ucap Aslan terpotong karena Nenek yang baru saja menidurkan Cyla menghampiri dan mendengar ucapan mereka.
“Kenapa besok? Mendadak sekali!” Terdengar dari suara Nenek yang takut berpisah dengan cucu satu-satunya.
Jelas saja, memang siapa yang tak haru berpisah dengan sang cucu dalam waktu yang lama. Sang anak belum tentu rutin mengunjungi karena aktivitas, ditambah sang cucu yang tak lama lagi akan pergi.
***
Matahari kini berubah warna kemerahan, sinarnya memancarkan sekitar. Angin berhembus pelan seolah ikut bersedih. Cyla yang tak tahu apa-apa, ia hanya bermain gembira dengan kedua orangtuanya.
“Kek, ayuk mainnn!” ucap Cyla sambil menggerakkan tangannya guna mengajak.
“Iya Cyla, Kakek datang!”
Di dapur, tampak Nenek memasak sambil menangis. Ia tak kuat menahan tangisnya, sudah tak terbendung. Air matanya mengalir deras membasahi pipi keriputnya, namun suara tangisnya samar-samar. Sang Nenek tak ingin tangisnya terdengar sang cucu. Sesak memang, namun inilah yang harus dijalani. Nenek memasak sambil menangis, ia sengaja memasak makanan kesukaan cucunya. Karena ini terakhir kalinya ia memasak untuk sang cucu mungkin nanti bisa, tapi entah kapan.
“Wahh enak bangett semuanya Cyla suka!” teriak riang Cyla.
“Duhh Ema, makanan kesukaan Amira ngga ada yaaa.” Canda Amira.
“Udah udahh, Ema lebih sayang anak kita. Lagian kan kamu sudah besar,” Aslan membalas candaan Amira. Sontak yang lain tertawa.
Suasana kala itu begitu hangat, namun apa ini yang terakhir kalinya? Atau harus menunggu dalam jangka waktu yang lama, bahkan tak menentu.
Kini matahari berganti bulan. Sunyi, tiada suara bising. Dingin mulai menyeruak tubuh. Kakek memandangi cucunya yang telah terlelap tidur, ia mengusap kepalanya sambil menyelimuti dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air mana jatuh di pipi sang cucu, suara tangisnya mulai terdengar diantara sunyinya malam. Nenek, Aslan, Amira telah terlelap menjelajah mimpi. Kakek tak ingin membangunkan siapa pun, jadi ia menahan suara tangisnya dan mengelap air matanya yang tumpah di pipi sang cucu. Sebenarnya sang Kakek ingin menangis sejadi-jadinya, sakit rasanya menahan isak tangis. Tanpa sadar, Kakek tertidur di dekat cucunya.
Keesokan harinya saat pagi-pagi buta, Aslan, Amira dan Cyla berpamitan.
“Ayah, budaaa Kakek sama Nenek ngga diajak?” tanya Cyla polos.
“Kakek dan Nenek tinggalnya kan disini Cyla,” jelas Kakek sambil mengelus lembut kepala cucunya. Terlihat dari ekspresi Cyla, ia tak mau berpisah dengan Kakek dan Neneknya. Namun apa daya, ia juga ingin bersama kedua orang tuanya.
“Hmm Cyla pergi ya Kakek, Nenek.” Ucap Cyla sedih.
“Iya Cyla, hati-hati yaa. Nanti jangan lupa main kesini ok?” ucap Nenek menghibur Cyla dengan tersenyum riang.
“Iya Nek, pasti!” jawab Cyla mantap.
***
Tiga tahun telah berlalu, sang cucu tak kunjung kembali. Sang Kakek kini sedang bekerja, namun kecelakaan terjadi yang menyebabkan dirinya meregang nyawa. Nenek menangis terisak sambil mengabarkan sang anak. Lantas mereka bergegas ke Bandung. Cyla bahagia saat itu, ia tak tahu apa-apa selain mengunjungi Nenek dan Kakeknya.
“Ayah, Bundaaa nanti kita ketemu Nenek sama Kakek kan?”
“I-iya Cyla sayang, “ ucap Amira sambil menitikkan air mata. “Harusnya sudah dari lama berkunjung, tapi karena kegiatan—“
“Udah, jangan menyalahkan diri sendiri.” Potong Aslan.
Di luar kendali, macet parah terjadi. Sebabnya mereka tak bisa melihat sang Kakek untuk terakhir kalinya, benar-benar yang terakhir kalinya.
Sesampainya, Aslan dan Amira menangis. Amira memeluk erat tubuh sang Nenek erat. Sedangkan Cyla celingak-celinguk mencari keberadaan kakeknya, “Nek, Kakek dimana?”
“Kakek lagi kerja, Cyla.” Jawab Nenek yang tak kuasa memberitahu kebenaran.
“Ohh ya udah, Cyla nunggu Kakek aja di teras.”
“Eh Cyla—“
“Udah Amira, biarkan.” Tahan Aslan.
Tiga jam telah berlalu, Cyla keheranan yang tak kunjung berjumpa Kakeknya. Cyla tak mau makan sebelum Kakeknya pulang, melihat itu Nenek; Amira; dan Aslan terdiam membisu. Agar mengenang Kakek, mereka tinggal di Bandung. Mereka ingin menjaga Nenek agar kejadian serupa tak terulang kembali. Cyla kini bersekolah di Bandung. Setiap pulang sekolah dan hendak berangkat sekolah, ia pasti menunggu Kakek di teras Rumah. Kejadian itu terulang lagi, dan lagi hingga Cyla beranjak remaja.
“Yah, kenapa Kakek ngga kembali dari kerjanya?” tanya Cyla keheranan.
Aslan tak berucap sepatah kata pun.
“Udah waktunya kamu tau nak,” ucap Amira mulai menangis.
“Tau apa Bun?” tanya Cyla penasaran.
“Amira—“ ucap Nenek ditahan Amira.
“Cyla sudah beranjak dewasa mak, sampai kapan disembunyikan?” ujar Amira.
“M-maksudnya? Apa yang disembunyikan?” tanya Cyla yang semakin kebingungan.
“Kakek tak kunjung kembali—“
“Iya, Cyla tau Kakek udah lama ngga kunjung kembali.”
“Selamanya, Kakek—“
“Bunda bercanda kan?” tanya Cyla tak percaya.
“Kamu ingat pertama kali kamu menunggu Kakek?”
“I-iya Bun, Cyla ingat.” Jawab Cyla terbata.
“Kakek udah meninggal dunia saat itu, oleh sebabnya kamu ngga menemukan Kakek.” Jelas Amira.
Pahit memang mendengar pernyataan tersebut, namun itulah kebenarannya.
“Bohong! Ngga mungkin! Cyla bakal buktiin Kakek itu masih hidup!” ucap Cyla sambil menelusuri sekitar Rumah sambil berterak, “Kakek?” Kakek dimana? Itu bohong kan Kakek? Kakek!” Cyla putus asa yang tak kunjung menemukan Kakeknya. Cyla menangis dengan penuh penyesalan. Dalam batinnya, ‘kenapa selama ini aku ngga sadar? Kenapa? Kenapa!’
Cyla di tunjukkan makam sang Kakek, saat sudah dekat tanpa sadar Cyla sedikit berlari. Ia melihat jelas tulisan di nisan makam tersebut:
Ridho
Bin
Kurniawan
Lahir pada : 22 Januari 1947
Wafat pada : 13 November 2013
“Aaa Kakek! Cyla minta maaf, maafin Cyla kek!” teriak Cyla menyesal. ‘kini kutahu kebenarannya, berat memang. Namun akan kuterima dengan lapang, selamat tinggal Kakek. Engkau akan tetap ku kenang walau tak kunjung kembali.’ Cyla membatin.