Cerpen Nursiyah | Lelaki yang Memenjarakan Puisi
T |
ak
kukira kiamat datang secepat ini!
Aku
berlari kesetanan menemui lelaki itu. Anak-anak menangis. Para ibu gelisah
menatap langit yang marah dari bilik. Seorang lelaki sibuk
menyelamatkan ternak. Daun pintu rumah lelaki
yang kucari itu tak terkunci. Buku, perabot, dan kamarnya tersapu badai. Langit hitam mencekam. Seolah ingin mengisap, lalu memuntahkan tubuh-tubuh
kecil kami.
Lelaki yang kucari itu adalah lelaki
tua yang pasti tahu penyebab dari semua ini. Lelaki yang tahu kenapa desa ini
tak bersenja. Lelaki yang kata kakekku adalah satu-satunya
tawanan yang selamat dari tangan PKI.
Lelaki yang kakekku dan para warga biasa memanggilnya Nyai Bah.
***
Sore itu aku datang ke rumah Nyai Bah, sahabat kakekku yang masih
tersisa.
Dan sudah aku anggap sebagai kakekku sendiri.
Apalagi setelah kematian kakek yang benar-benar kakekku..
Ketika langit biru pucat, tiba-tiba gelap gulita,
saat itu pulalah aku mendapati wajah Yai Bah menjerit bisu. Seperti menyimpan seribu misteri kehidupan di tanah yang tak pernah menjumpai
senja.
“Dulu,” Yai Bah
memulai, “Senja pernah ada. Bahkan, kami memuja. Merangkai puisi untuknya, bernyanyi, dan bersalawat. Tak bosan mengaguminya saat mengantar
matahari pulang di ujung sungai.”
Dingin menampar pipi kami saat Yai Bah menghirup sisa kopinya.
Asap klintingan tembakaunya
pontang-panting
ditiup angin.
Ia memahami apa yang aku dan kebanyakan warga desa tak mengerti. Seperti
puisi, cerita-cerita kuno, kitab-kitab gundul, sampai cerita sekelompok orang saat menghadapi
masa Orde
Baru yang mencari kemerdekaan pada negeri
yang baru merdeka.
Yai Bah mengisap kreteknya. “Ini ujian. Seperti dulu Dia menguji negri Sodom. Seperti Dia menguji Tanah Arab. Ah … atau mungkin, Dia sudah
kecewa dengan kita.“ Kalimat terakhirnya mencekat. Pahit.
Di usiaku yang baru masuk kepala tiga, memoriku alpa dan
kesepian pada kehangatan sore. Aku hanya sanggup mendengar dongeng tentang senja
dari mulut bapak, kakek, atau dari puisi-puisi Yai Bah.
Selebihnya, aku hanya mengandalkan ilusi bagaimana ajaibnya langit bernama sen-ja dengan iringan nyanyian puja-puji ke-llahian.
“Bukankah, Dia tak pernah menguji umat dengan keterlaluan?” matanya menatap langit yang berarak men-dung.
“Ya, begitulah. Aku pernah membaca sepenggal
ayat tentang itu,” aku hanya bisa menjawab
sebisaku, sepengetahuanku, yang tersisa
tergerus waktu.
“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat
tingkah kita”Yai Bah
berdiri. Masuk keruangan dengan langkah tergopoh. Menarik daun jendela
hingga berderit, lalu menyalakan lampu terasnya.
“Puisi. Sial terkutuk itu! Aku sudah terlalu tua untuknya. Hidupku
dan desa ini telah kutulis di dalamnya. Aku memenjarakan terlalu banyak
keindahan di dalamnya. Mereka abadi.”
Udara dingin membuatnya terbatuk-batuk. Ia mengencangkan sarung lusuhnya yang dirasa mulai kendur di pinggang.
“Menjelang ajalku, kebahagiaan apalagi yang bisa kudapat? Aku
melihat desa ini tumbuh, memuntahkan anak-anaknya, krisis, dan kini bahkan tak memiliki senja.”
“Omong-omong, langit di sana itu, kapan
terakhir kali memamerkan senjanya?”
Yai Bah membatu. Kreteknya terbakar pelan. Angin meniup asapnya
simpang siur. Malam tumbuh dengan ganas. Pelita-pelita kuning bermunculan.
“Sehari sebelum para kiai desa ini
di bantai,” jawabnya mengenang, “negeri
ini sejatinya tak akan bisa merdeka tanpa jasa mereka,”
lanjutnya.
“Mereka yang mengajari orang tua kita
tentang jihad, mereka yang memutuskan rasa takut ketika sekelompok
koloni bangsat itu menjarah desa ini. Mereka yang lantang meneriakkan Allahu Akbar! di medan perang. Dan mereka yang memanjatkan doa khusus saat genjatan
itu dimulai. Bambu runcing itu sejatinya tak bernyawa. Kalimah takbirlah yang meniupka ruh ke dalamnya. Bambu
runcing itu hidup bersama gema takbir. ‘Allahu
Akbar!’” tangannya mengepal menerikan takbir.
“Mereka yang telah memberikan julukan
pada desa ini dengan julukan desa suram adalah orang bodoh yang tak pernah tahu
sejarah. Demi
Allah! Ya! Aku ingin menghapus kalimat tolol itu sebelum mati!” Usai mengatakan itu,
kurasakan amarah terpendam dari dirinya. Alih-alih meneruskan merokok, ia masuk
ke dalam, mengisi cangkir kopinya. Jika sudah demikian, berarti itu tanda
bagiku mengucapkan “selamat malam”. Ucapan yang belakangan aku tahu tak pernah
ia suka.
***
Jika kau bertanya-tanya mengapa senja tak lagi mampir, aku butuh
lebih dari seribu kali mendengar legenda lokal,
mengumpulkan sajak-sajak Yai Bah, tetua desa yang tersisa lalu memadukannya
dengan pendekatan ilmu filsafat-agama-fisika untuk mengurainya.
Hidup tanpa senja bukan berarti penduduk
desa tak
berupaya menghadirkannya kembali. Dari ibu yang pernah
pernah bercerita tetang segala usaha mengembalikan senja. Sepuluh tahun lalu,
para pemberani desa yang dipimpin oleh Yai Bah pernah ingin menjerat matahari. Mereka membuat jaring khusus yang sangat lebar dan dikaitkannya di atas tiang. Berharap matahari yang terjaring sebelum jatuh
ditelan cakrawala itu akan cukup menampung warna
jingga di langit. Tapi matahari terlampau ganas. Jaring itu terbakar dan
langit pun gelap. Sejak itu lama tak ada lagi yang upaya.
Upaya kedua pun
dilakukan setelah Yai Bah ber-mimpi bertemu para kiayi
yang mati dibantai di tengah lapangan, di malam Jumat dulu. Salah
seorang kiai berkata, “Para warga desa harus menyajikan panganan
sesuai arah rumah. Jika ada warga yang memiliki rumah menghadap ke timur maka
warga tersebut menyajikan panganan yang berasal dari olahan singkong.
Jika ada warga yang memiliki rumah
menghadap ke barat maka harus menyajikan panganan yang
berasal dari olahan ikan. Jika ada warga
memiliki rumah menghadap ke selatan maka harus menyajikan panganan yang berasal
dari olahan ketan. Jika ada warga yang memiliki rumah
menghadap utara maka harus menyajikan panganan yang berasal dari olahan buah. Panganan
yang terkumpul ditempatkan pada getek
gadebogan dan dihanyutkan ke hulu sungai”.
Upaya kedua itu pun
tak membuahkan hasil. Malah langit kian suram dan matahari tak menampakkan
diri selama tiga hari. Malah hujan sepanjang hari.
Para warga bertambah gelisah.
Segala upaya dilakukan agar langit
tak terus-terusan hujan. Yai Bah bekerja keras. Tengah
malam ia berpuisi tentang hujan, tentang rindu. Rindu umat akan senja. Setelah
menyelesaikan puisi, ia tertidur. Dalam
tidurnya,
ia bermimpi bertemu dengan para kiayi.
Salah seorang di antara-nya adalah sahabatnya dan bertutur bahwa pesannya di dalam mimpi sebelumnya adalah cara meminta hujan.
“Lantas bagaimana cara menghentikan
hujan?”
“Tegakkan sapu lidi di
depan pekarangan. Hiasi sapu lidi tersebut dengan cabai merah
segar dan bawang merah,” jawab seorang kiai, lalu menghilang.
Besok paginya bulan kebesaran Juni
melengang begitu saja. Puasa sudah menunggu di awal Juli. Kesibukan-kesibukan kecil
mulai terlihat di sana-sini. Sampai di pertengahan Bulan
Puasa,
Yai Bah mencoba menerapkan pesan dari mimpinya. Diambilnya seikat lidi yang biasa ia pergunakan untuk menyapu
halaman. Dihiasi sapu tersebut dengan beberapa cabai merah segar dan bawang
merah yang ditancapkan di ujung lidi. Ditancapkannya
sapu lidi tersebut di pekarangan rumahnya dan hujan pagi itu
lamat-lamat berubah menjadi gerimis lalu mereda.
Lalu, diumumkan cara tersebut kepada para warga. Seluruh warga percaya untuk kali itu. Warga mengumpulkan sapu lidi
dan menghiasinya dengan cabai merah segar dan bawang merah, lalu
menancapkannya di halaman rumah mereka masing-masing. Namun tidak mengubah keadaan. Senja tetap tidak menampakkan diri. Langit tetap
sama seperti sebelumnya. Suram dan muram,
hanya mendunglah yang bergelayut manja di langit.
Aku memerhatikan Nyai Bah. Matanya merawang. Tiba-tiba melotot seperti ada yang mengejutkannya, ia buru-buru memalingkan wajah. Suaranya lirih sembari berkata “Duh Gusti ... ampuni aku ….” Aku tidak paham
maksudnya. Belum sempat aku bertanya, ia malah pergi dengan langkah tergesa.
Aku berlari menyusulnya namun kakiku
terasa berat dan melambat. Selembar daun berlari disapu angin. Saat itulah mataku “tertumbuk”
pada celah langit yang bergejolak. Kakiku hilang kekuatannya dan tak mampu menopang tubuh. Aku
lemas terjatuh. Berkali-kali kukedipkan mata kalau-kalau ini mimpi.
Aku mencubit tanganku, terasa sakit, ini
nyata dan
bukan halusinasi. Langit bergejolak seperti pusaran gelombang
laut yang ganas.
Badai datang. Langit merah itu memuntahkan
hujan tajam. Angin menghajar habis kandang dan dinding-dinding rumah, pohon-pohon tumbang. Aku coba berdiri dan berlari sekuat tenaga, meneriakkan nama Yai Bah
hingga serak. Menanyai setiap wajah penuh gurat tanda tanya cemas dan takut. Mereka tak melihat lelaki tua
itu. Sial!
Di antara kebingungan, isak tangis, dan kepasrahan terjadi ledakan
besar. Gelombang cahaya berkilau, membutakan. Keadaan seketika hening. Semua bunyi dan suara seperti terserap ke dalam
sebuah ruang vakum. Satu demi satu pintu terbuka. Wajah was-was
itu saling mencari jawaban pada wajah-wajah lainnya
yang beristigfar dan bertakbir. Melantunkan ayat demi ayat dengan nada
tertekan, cemas, dan takut. Memandangi langit yang berlubang.
Menunjuk-nunjuk ke lubang besar dengan aliran warna-warna kuning, merah, dan
lembayung. Menyebar seperti virus. Dalam sekejap lautan jingga telah memayungi
desa kami. Cakra-wala baru. Tapi aku belum menemukan
Yai Bah. Ke mana ia?
***
Sampai senja hari ke tujuh ini, aku tak berhasil menemukan Yai
Bah. Semua darinya, termasuk buku-buku puisinya,
kitab-kitab gundulnya raib. Dalam hati aku bertanya-tanya. Ke mana ia pergi saat langit itu berlubang? Apakah ia merasakan
sore yang ajaib ini? Pikiranku terus berlari ke segala kemungkinan. Sebelum sebuah kabar membuatku lemas bahwa
seorang penyair tua tewas menenggelamkan
diri ke sungai bersama puisi-puisinya. Menumbalkan
diri membebaskan puisi-puisi yang telah lama ia penjara, dan menyusul para
sahabatnya yang mati dibantai di tengah lapang, di tengah
malam Jumat.
Nursiyah, karyawan pabrik yang hobi menulis.