Cerpen Kapsah | Membeli Kata “Wah”

 Cerpen Kapsah 



Belandongan megah terpasang di tanah lapang di tengah-tengah perkampungan. Tanah lapang yang biasa dipakai untuk bermain sepak bola dan senam warga. Di hari yang cukup terik, belandongan dengan tenda berwarna putih-gold yang masih kinclong, hamparan karpet merah, singgasana pengantin serta beberapa pajangan foto di depan pintu masuk tamu undangan yang memukau, alunan musik khas pernikahan menggelegar ke seluruh kampung. 

Pernikahan itu bukan pernikahan orang penting atau anak pejabat. Tidak ada kiriman rangkaian bunga dari pejabat atau orang tertentu. Ada yang melihat lalu memujinya, datang lalu ikut merasa bahagia, tapi ada juga yang berpikir bahwa itu semua bagian dari kesombongan dan hal yang berlebihan. Tapi buat sebagian orang di kampungku rasanya tidak puas jika hanya melihat megahnya resepsi pernikahan dari belandongan saja. Selain megahnya belandongan kedatangan calon mempelai lelaki pun sangat ditunggu-tunggu, bukan ingin menyaksikan dan menghadiri serta memberi doa secara langsung, tetapi hanya sekadar menghitung banyaknya kendaraan pengiring dan banyaknya parsel serta seserahan lainnya yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki. Tidak heran jika ibu-ibu sengaja menunggu di luar rumah atau terburu-buru keluar rumah ketika rombongan calon mempelai lelaki datang mereka hanya ingin memastikan dan menghitung mobil pengiring serta pikc-up pembawa parsel.

“Udah datang pengantin laki-lakinya?” tanya Ibu Mirna yang mengenakan daster bunga-bunga menghampiri kumpulan ibu-ibu lainnya di pos ronda.

“Sudah Bu, banyak yang ngiring. Satu mobil pengantin, enam mobil pribadi, angkotnya empat, pikc-up isinya kasur, lemari, dan perabotan lainnya. Satu pikc-up lagi bawa parsel dan kue serta tim qasidah,” sambar Bu Siyah berusaha menjelaskan dengan detail.

“Tapi rombongan pengiring yang bermotor juga banyak. Pada nyawer enggak yah nanti? Kalau cuma ikut ngiring dan makan doang kan rugi pihak perempuannya,” Bu Lesi menambahkan sambil membetulkan kunciran rambutnya.

Pernikahan itu adalah pernikahan teman kecilku, Narti. Dulu kami satu SD, tapi ketika lulus dia melanjutkan SMP ke sekolah swasta di kampungku yang gratis sampai lulus SMA. Hampir dua tahun nganggur di rumah, tapi sekarang dia bekerja jadi karyawan pabrik di kampungku karyawan pabrik itu adalah orang yang sukses, baru kerja tiga bulan langsung bisa kredit sepeda motor, sangat dibangga-bangakan hampir oleh orang sekampung meskipun orang tuanya harus bayar lima belas juta supaya bisa jadi karyawan pabrik. Sangat berbeda dengan orang yang mendapat beasiswa kuliah, apalagi kuliahnya bidang pendidikan yang dicetak bakal jadi guru, dianggapnya biasa saja karena gaji guru lebih kecil jauh berbeda dengan gaji karyawan.

Setengah tahun yang lalu, sebelum Narti menikah, aku dan Narti bertemu sekadar makan bakso bersama. Dia menanyakan tentang kuliahku. Spontan aku merasa bahwa dia bersungguh-sungguh ingin tahu suka dukaku selama menjadi mahasiswa. Meskipun satu kampung, tapi kita jarang bertemu dan main bersama karena rumah kita tidak berdekatan. Ditambah lagi kesibukan kita yang berbeda.

“Aku juga dulu sebenarnya ingin kuliah Din,” celetuknya setelah mendengar ceritaku.

“Tapi kamu bersyukur sekarang kamu sudah kerja dan punya penghasilan sendiri jadi bisa bantu orang tua,” responsku berusaha membanggakannya.

“Mau gak mau Din, aku kerja atas saran orang tua, apalagi orang tuaku sudah keluar uang sampai lima belas juta biar aku bisa kerja di pabrik. Itu pun hasil menggadai sawah dan menjual beberapa perhiasan simpanan Ibu,” ungkapnya dengan penuh kejujuran dan ekspersi sedikit mengeluh.

“Kamu juga bisa kuliah sambil kerja di universitas swasta yang kuliahnya dua atau satu hari dalam sepekan di hari libur, kan enak kamu bisa kuliah dengan biaya hasil kerja sendiri.”

“Dulu aku pernah bilang kalau aku ingin kuliah seperti Dini dengan beasiswanya. Sempat juga kecewa sama orang tua karena aku di sekolahkan di sekolah swasta yang gratis sampai SMA, tapi belum terlihat kualitas lulusannya. Kata Ibu, sekolah di mana saja, yang penting giat belajar. Tapi buktinya, sekolahku dulu tidak membantu mengarahkan untuk bisa masuk kuliah, tidak seperti kamu Din. Sekarang aku entah bisa apa tidak untuk kuliah karena beberapa waktu lalu teman lelakiku hampir setiap minggu rutin main ke rumah dan orang tuaku segera ingin menikahkanku dengannya.”

“Orang tuamu tidak salah, mungkin karena memang sekolah kamu dulu masih baru berdiri. Tapi kamu yakin secepat itu akan menikah?”

“Insyaallah Din, teman lelakiku itu sudah siap dan orang tuaku juga udah setuju bahkan sudah menawarkan sawahnya ke beberapa orang untuk dijual sebagai biaya pernikahanku nanti katanya. Kerbau Bapak juga dipersiapkan untuk acara resepsi pernikahanku.”

Aku sedikit kaget dan ikut bahagia mendengar cerita Narti. Secepat itu dia akan menikah. Pastinya setiap orang tua merasa risih dan terlalu khawatir jika anaknya berpacaran terlalu lama, makanya ingin cepat menikahkan anaknya daripada nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sebelum menikah. Tidak heran juga jika orang tua Narti ingin menjual sawahnya untuk biaya resepsi pernikahan, apalagi Narti anak satu-satunya. Di kampungku banyak orang tua yang rela habis-habisan hartanya untuk acara resepsi pernikahan anaknya, ingin memberikan yang terbaik. Bukan hanya itu, melainkan juga ingin mendapatkan penilaian terbaik dari orang-orang. Banyak orang tua yang tidak siap mendapat omongan jika acara resepsi pernikahan anaknya sederhana. Lebih baik susah payah utang ke sana kemari asal orang-orang memujinya dan berkata “Wah!”.

Menikahkan anak adalah kewajiban orang tua dan hal baik yang harus dilakukan, tapi orang tua juga punya kewajiban untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. Tak sedikit orang tua yang rela berutang atau sampai menjual sawah dan kerbau peliharaannya untuk biaya resepsi dan tak banyak orang tua yang rela habis-habisan untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya. 

Pernikahan Narti memang megah, semua orang di kampung terkesima dan tak sedikit yang memujinya atau hanya melolong terpana melihat kemewahannya. Adat di kampungku jika ada pengantin, malam harinya sekitar bada Isya pengantin laki-laki sengaja diantarkan terlebih dulu di rumah saudara yang masih sekampung untuk kemudian dijemput oleh pengantin perempuan dan diiring oleh seluruh warga dengan musik khas rudat sampai balik lagi ke rumah mempelai perempuan. Lalu kedua pengantin naik singgasana atau panggung, kemudian orang-orang bergantian memberi salam dan ucapan selamat serta memberikan saweran untuk pengantin diiringi lagu “duhai senangnya pengantin baru” semuanya begitu “Wah!”. Sampai-sampai keesokan paginya terdengar berita yang “Wah!” bahwa ibu dari mempelai laki-laki malam itu pulang dan membawa buntelan uang saweran.



____

Arsip #1, Minggu 25 Des 2021

Kelas Menulis #Komentar Angkatan ke-10


Postingan Populer