Bab 1 | Prolog | Novel "Dokter Kanzha" Karya Maffa

 



Kicauan burung saling menyahut. Sinar mentari mulai menaiki persinggahannya dan dengan gagah memancarkan sinarnya. Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi, mungkin begitulah perasaan yang Khanza Aurelia Putri Pradipta alami.

Khanza, seorang dokter muda di salah satu rumah sakit swasta Ibu Kota yang memiliki segudang prestasi. Khanza banyak dikenal di masyarakat karena kepribadiannya yang anggun serta ramah. Terutama saat dia tersenyum, terpancar aura kedamaian dari senyumnya itu. Di usia yang menginjak dua puluh emat tahun, dengan karier yang gemilang, ia belum juga memiliki pasangan dalam sebuah ikatan pernikahan. Bagi Khanza bicara pernikahan bukanlah hal mudah ia jabarkan, melainkan perlu sebuah komitmen yang harus ia pikirkan.

***

Pagi itu, seperti biasanya sebelum bergegas ke rumah sakit Khanza selalu menyantap sarapan yang telah disiapkan oleh ibunya sampai habis. Terkadang di usianya yang sekarang, menu sarapan, masih ibunya yang menyiapkan. Meskipun Khanza anak sulung, tapi ibunya masih sering perhatian dengan segala keperluannya, tidak ada perbedaan antara adik-adiknya. Mereka semua biasa sarapan bersama sebelum menjalankan aktivitas masing-masing. 

“Zha, Ayah rasa usia kamu sudah matang untuk menikah. Tidakkah kamu memikirkan soal pernikahan dan meperkenalkan calonmu kepada Ayah?” tanya Ayah Khanza sembari menyantap sarapan pagi di meja bundar itu.

Khanza terkejut dengan perkataan ayahnya. Ia tersedak sebelum menelan nasi goreng buatan ibunya. 

“Ayah ini, kasihan kan Khanza sampai tersedak gitu,” tegur Ratna Ibu Khanza, sembari memberikan minum kepada khanza.

”Ayahku yang paling baik, usia Khanza kan baru dua puluh empat tahun. Khanza ingin meraih cita-cita Khanza menjadi dokter spesialis dan itu butuh waktu cukup lama Ayah!” jelas khanza kepada ayahnya, sambil menghabiskan sarapannya. Meskipun dengan hati yang tak bersemangat dan ingin bergegas pergi dari meja makan. Pasalnya Khanza paling tidak suka jika ditanya soal pernikahan. 

“Tapi Zha, usia kamu bentar lagi dua puluh lima, ayah cuma ingin kamu ada yang mendampingi ke mana kamu pergi. Gak baik kalau perempuan itu selalu pergi sendiri. Jika kamu sudah menikah, kamu ada yang menjaga setiap kamu pergi,” ujar ayahnya menasihati sambil menyeruput kopi hitam cap kapal laut. Namun, Khanza tak mengindahkan nasihat itu. 

Khanza terdiam sejenak, “Udah ya, Ayah. Khanza pergi ke rumah sakit dulu. Khanza minta doa Ayah dan Ibu agar Khanza segera mendapatkan pasangan, seperti apa yang Ayah dan Ibu harapkan,” ujar Khanza, bergegas pergi menjauhi mereka tak lupa Khanza selalu mencium tangan mereka.

***

Pagi itu rasa semangatnya musnah saat orang yang ia sayang menanyakan soal ”pernikahan”. Bukan tak suka, dengan pertanyaan itu, melainkan saat ini Khanza masih fokus mengejar kariernya agar bisa menjadi dokter spesialis penyakit dalam, yang telah lama Khanza cita-citakan. Serta ia masih ingin berselancar melanglang buana memandang panorama dunia, tanpa adanya batasan izin dari yang namanya suami.  

Menikah baginya bukan hal yang mudah terucap untuk dijalani, melainkan ada tanggung jawab baru yang harus kita jalani, berbeda jika kita masih sendiri. Namun itu semua berbanding terbalik dengan orang tuanya. Mereka menginginkan Khanza agar segera memiliki pendamping hidup. Harapan kedua orang tua Khanza sederhana, tapi terasa berat untuk Khanza wujudkan.  

Apalah daya Khanza masih belum memikirkan apa yang orangtuanya pinta. Bukan ia tak mampu mewujudkannya, tapi kegagalan menjalin hubungan saat masih duduk di bangku putih abu-abu membuatnya lebih mawas diri dan selektif. Dia tak ingin jatuh di lubang yang sama merasakan patah hati kembali untuk orang yang tak pantas ia tangisi, terlebih ia telah berikrar janji pada dirinya sendiri untuk tidak berpacaran lagi dan istiqomah untuk memperbaiki diri. Bukan hanya itu saja, tetapi Khanza masih menunggu sebuah kepastian dari seseorang yang telah mengubahnya lebih baik walau di antara mereka belum saling bertemu. Ia berharap suatu saat nanti ia bertemu dengannya dan menjadikannya sebagai dari hidupnya, walau ia tak tahu kapan ia akan dipertemukan dengannya. 

Pertanyaan "kapan nikah?" sesungguhnya membuat nya sesak, rasa bergemuruh dalam jiwa ingin ia empaskan. Cibiran dari tetangga pun selalu ia dapatkan. 

Kapan nikah?

Kapan nikah?

Kapan nikah?

Pertanyaan itulah yang selalu terngiang dalam benaknya. Ingin ia bungkam mereka, tapi apalah daya ia tak mampu. Tak terasa banyak mutiara bening yang selalu ia keluarkan saat pertanyaan itu mengusik indra pendengarannya. 

“Bukan aku tak mau menikah! Aku masih menunggu ia yang telah mengoyak hati ini,” batinnya mengikis. Ia selalu berharap apa yang ditunggu menjadi sebuah kesabaran yang berujung keindahan, menjalin sebuah pernikahan dengan orang yang ia harapkan.


Cerita selanjutnya Bab 2



Postingan Populer