Cerpen Kapsah | Tatapan Sinis Pak Lurah

Cerpen Kapsah



Pagi hari seperti biasa Masitoh berangkat dengan menggunakan motor metik untuk keperluan tugas akhirnya. Hari-hari Masitoh selain menyelesaikan tugas akhirnya dia juga menjadi pembina santri baru di salah satu pondok pesantren di desanya. Tawaran itu diterima karena dia sadar bahwa butuh biaya untuk menyelesaikan skripsinya dan tidak mau menyusahkan orang tua yang kehidupannya sudah sulit. Meski latar belakangnya bukan dari pesantren, tapi karena butuh dia terima tawaran tersebut. Toh hanya sebagai pembina, pikirnya. 

Dalam kegiatan pembukaan masa pengenalan santri baru, semua panitia dipersilakan memperkenalkan diri di depan santri baru. 

“Nama saya Masitoh, saya tinggal di Kampung Cempaka. Kalau dari sini keluar gerbang, ke arah kanan kemudian lurus sampai Indomart, belok kanan lagi terus saja sampai rumah di depan jalan bagus terakhir. Itu bukan rumah saya, rumah saya masuk melewati jalan rusak, lalu lurus saja, pas di rumah urutan ke empat itu rumah saya. Jadi saya tinggal di kampung. Kampung yang sedikit terabaikan.” 

Masitoh sengaja memperkenalkan jalan ke arah rumahnya yang rusak karena di aula tersebut hadir pula orang nomor satu di desanya itu yang ternyata sebagai komite SMA di bawah naungan yayasan tempat Masitoh bekerja. Menurutnya kesempatan itulah pas untuk mengungkapkan unek-unek tentang jalan rusak menuju rumahnya. Benar saja, Pak Lurah memperhatikan ucapan Masitoh tersebut. Semenjak itu juga Masitoh merasa seperti sering mendapat tatapan sinis dari Pak Lurah.

Sekitar tiga bulan dari pertemuan itu, terdengar kabar bahwa lurahnya mencalonkan kembali pada pilkades, dan jika terpilih itu masa pimpinan untuk ketiga kalinya karena kebetulan peraturan terbaru muncul saat periode pemimpinan lurahnya berakhir, yang biasanya hanya sampai dua periode menjadi tiga periode masa pimpinan. Entahlah atas dasar apa peraturan itu dibuat, Masitoh hanya menginginkan perubahan terhadap kampungnya, minimal perbaikan jalan di kampungnya yang rusak dan tanpa lampu penerangan, tapi seolah Masitoh tidak bisa percaya dan berharap lagi kepada lurahnya itu akhirnya dia ikut mendukung calon baru, meski bukan bagian dari tim sukses langsung. Bukan karena banyak diberikan sesuatu atau iming-iming hanya sekadar menitip harapan saja, akan terwujud atau tidaknya, entahlah karena kebanyakan calon pejabat hanya janji di awal tapi lupa setelah terpilih.  

Hari pemilihan telah tiba, dengan mengenakan batik dan nametag panitia, Masitoh siap bertugas sebagai panitia pemungutan suara pemilihan lurah. Bersama panitia lain Masitoh membuat senyuman ramah sebagai tanda penghormatan kepada setiap calon lurah yang datang beserta istri dan tim suksesnya yang kemudian duduk di tempat khusus yang sudah disiapkan. Pak Lurah sedikit mengerutkan dahinya ketika menatap Masitoh, tatapannya sinis bahkan lebih sinis dibanding pertama. seperti mengisyaratkan juga bahwa dia tahu jika Masitoh adalah salah satu warganya yang tidak mendukungnya. 

Penghitungan hasil pemilihan suara telah selesai, pengumuman hasil dan kemenangan pun diumumkan. Ternyata lurahnya itu masih tetap unggul, terpilih kembali. Masitoh menghela nafas, seolah tak ada harapan untuk perubahan di kampungnya, namun itu hasil pilihan seluruh warga desa. Masitoh berharap semoga lurahnya itu ingat akan janjinya untuk membangun jalan menuju kampungnya yang rusak, seperti yang disampaikan pada pertemuan warga dalam acara pengajian rutin di Kampung Cempaka dua bulan lalu sebelum pemilihan.  

Setelah beberapa bulan lulus. Masitoh bekerja sebagai guru di RA naungan yayasan pondok pesantren tempat dia bekerja sebagai pembina. Namun, sekarang dia memilih untuk pulang pergi, karena ibunya saat ini kerja untuk membantu perekonomian keluarga, jadi tidak ada yang mengurus rumah. Setiap pagi Masitoh selalu menggerutu karena masih harus melewati jalan kampungnya yang rusak. Setahun kemudian, berkat keuletan kerjanya Masitoh diminta untuk menjadi kepala sekolah menggantikan pemimpin sebelumnya untuk di RA karena yayasan pondok pesantren menaungi pendidikan formal RA, SMP dan SMA. Untuk SMP dan SMA siswanya Boarding School, namun untuk tingkat RA tidak.  

Suatu hari yayasan mengadakan kegiatan forum silaturahmi wali siswa dan santri RA, SMP serta SMA. Dalam forum tersebut ketua yayasan memperkenalkan kepala sekolah dan dewan guru seluruh yayasan, giliran masitoh yang diperkenalkan. 

“Inilah kepala sekolah RA kita, beliau kepala sekolah termuda di rayon sepuluh.” 

Masitoh berdiri, senyum dan salam penghormatan kepada seluruh tamu undangan. Pak Lurah yang duduk di paling depan ujung utara berdiri melongok penasaran, ketika menemukan wajah Masitoh dalam matanya dia menatap heran dan seperti orang kaget, tak lama langsung duduk kembali di kursi kehormatannya. Masitoh merasakan tatapan sinis dari lurahnya itu untuk yang ketiga kalinya.

Saat makan bersama, Masitoh telat bergabung karena ada wali siswa yang meminta waktunya. Ketika masuk ruang makan pada saat itu juga berpapasan dengan Pak Lurah yang selesai makan dan bergegas ke luar ruangan untuk menemui sekertaris desanya yang sudah menunggunya di ruang lobby SMA. Tidak ada kata apapun selain senyum gelisah yang tanpa balasan, raut wajah Pak Lurah datar namun matanya menatap Masitoh dengan tajam. Tapi Masitoh bertahan pada senyum ramah buatanya itu. Untuk kesekian kalinya Masitoh merasa mendapatkan tatapan sinis dari pak lurahnya itu. 

Seusai makan Masitoh bergabung di ruang lobby, ternyata sekretaris desa masih ada tapi Pak Lurah sudah tidak terlihat lagi. Mungkin saja Pak Lurah di rumah ketua yayasan karena masih ada hubungan keluarga. Pak sekretaris desa mengucapkan selamat kepada Masitoh dan berbincang cukup lama bersama dewan guru lain yang masih di ruang lobby.

Semenjak pertemuan itu, untuk keperluan administrasi sekolahnya Masitoh selalu minta bantuan sekretaris desa, seperti meminta surat keterangan domisili, surat perizinan dari desa dan lain-lain. Tidak jarang juga Masitoh menanyakan tentang lurahnya itu kepada sekretaris desa karena memang sekdesnya itu masih muda, usianya hanya berbeda sekitar dua tahunan dengan Masitoh dan sama-sama masih lajang, belum menikah. Semenjak itulah keakraban di antara mereka terjalin.

“Bapak ko betah jadi sekdes dari awal Pak Lurah menjabat sampai sekarang?” tanya Masitoh sedikit heran.

“Ya Bu, Alhamdulillah dipercaya,” respons biasa dari Pak Sekdes.

Masitoh penasaran dan ingin tahu lurahnya itu menyimpang apa tidak. Namun tidak menemukan cerita yang menurutnya menjanggal dari sekdesnya itu. Mereka juga berbincang seputar apa pun dan lebih sering bertemu diluar adanya kepentingan. Beberapa bulan kemudian sekdesnya bilang bahwa dia akan menikah dan meminta Pak Lurah untuk mengantarnya melamar perempuan yang ingin dinikahinya itu. Karena sibuk dan tanpa berpikir panjang Pak Lurah langsung mengiyakan apalagi sekdesnya itu sudah seperti anak sendiri, mengabdi padanya dari awal.

Ketika hari lamaran tiba ternyata perempuan itu adalah Masitoh. Pak Lurah membelalakan matanya menunjukkan ekspresi kaget. Terlepas dari hal itu, acara berjalan dengan lancar dan baik. Kedua keluarga telah sepakat, tanggal pernikahan pun sudah ditentukan. Acara makan bersama sebagai pengakrab sudah beres, selebihnya tinggal ngobrol-ngobrol santai. Masitoh menghampiri Pak Lurah sembari memberikan tambahan buah-buahan sebagai cuci mulut. 

“Silakan Pak. Oh ya, bagaimana Pak jalan menuju rumah saya? Kapan jalan kampung ini dibangun?” dengan beraninya Masitoh bertanya langsung. 

“Tanyakan saja pada calon suami Ibu,” jawab Pak Lurah dengan senyum sinis.

Masitoh diam sejenak kemudian bergegas mendekat dan meminta waktu untuk bicara dengan si sekdes calon suaminya itu, menanyakan maksud pernyataan Pak Lurah. Sedangkan Pak Lurah sudah pamit pulang lebih dulu kepada keluarga Masitoh dan yang lain, karena ada urusan. Terngiang perkataan Pak Lurahnya itu, Masitoh berpikir bahwa calon suaminya itu terlibat terhadap alasan mengapa jalan dikampungnya tidak diperbaiki juga. Calon suaminya dengan santai berusaha menutupi kebenaran bahwa memang antara Pak Lurah dan sekdes saling punya kepentingan dan sama-sama saling menutupi tentang dana pembangunan jalan di beberapa kampung tidak sampai pada realisasi dan terabaikan. Masitoh gusar meminta uang yang diberikan kepada orang tuanya sebagai tanda jadi pernikahan, bergegas mengambil mikrofon yang masih terpasang dan mengumumkan bahwa Masitoh membatalkan lamaran dan pernikahannya.



___

Arsip 16 Jan 2022

#Komentar Angkatan ke-10




Postingan Populer