Esai Nurhadi | Potret Budaya Hukum Indonesia

Esai Nurhadi


Pergaulan individu manusia dengan sesamanya telah melahirkan suatu norma sebagai konsekuensi dari kolektivitas manusia itu sendiri. Keniscayaan ini tidak terlepas dari kebutuhan dan harapannya sebagai entitas dalam membentuk ketertiban demi keberlangsungan hidup yang sejati. 

Hal ini berkaitan terhadap respons empiris bahwa sebelumnya manusia merupakan pemangsa bagi manusia yang lain, Hobes menamakannya “homo homini lupus” yaitu manusia serigala. Sampai pada titik di mana manusia membuat sebuah kontrak sosial ditandai dengan sebuah ketentuan yang mengikat, selanjutnya dinamakan moral. 

Moral menuntun pada penegasan suatu norma yang dimiliki komunal tertentu. Sedangkan penegasan norma tersebut dipengaruhi oleh budaya yang lahir sebelumnya. Budaya memiliki peranan penting dalam memengaruhi sebuah sistem masyarakat: hukum. Jika diibaratkan budaya itu seperti lautan yang menghidupi ikan-ikan di dalamya. 

Hukum merupakan bagian dari norma yang lebih ekslusif, hukum di sini dipandang sebagai tatanan masyarakat yang kompleks dan abstrak, namun implementasinya adalah konkret—hal ini karena dituangkan dalam peraturan (tertulis atau tidak tertulis) atau undang-undang yang memiliki kekuatan hukum (sanksi) dan dibentuk oleh lembaga yang merepresentasikan orang banyak. 

Antara hukum dan budaya ialah instrumen yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling memengaruhi. Hukum tanpa budaya seperti ikan tanpa air, sedang budaya tanpa hukum seperti ruang tanpa kehidupan. Dengan kata lain hukum tidak menghilangkan esensi budaya masyarakat dalam kepentingan dan cita-cita bersama justru hukum yang senantiasa mengintegrasikan dan memasukannya (budaya) ke dalam sebuah konsep hukum yang berlaku (ius constitutum). 


Pancasila dan Konsep Negara Hukum Indonesia

Konsep negara hukum di Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh kebudayaan. Gagasan negara hukum Indonesia juga melalui perdebatan yang tidak melepas dari akar budaya. Seperti Soepomo dan Hatta yang memiliki sikap dasar sebuah negara hukum (rechtstaat). 

Soepomo menekankan pada kolektivisme-totalistik dengan teori yang dipilihnya, yaitu teori negara integralistik. Sebuah sitem kenegaraan yang dibangun tanpa ada sekat antara warga negaranya, ia terpengaruh dari konstitusi meiji di Jepang. 

Kedudukan kaisar absolut dan kepemimpinannya dapat diteruskan secara tutun temurun atau dinasti. Sehingga hak-hak warga negara yang tidak ditentukan oleh undang-undang maka tidak akan ada jaminan terhadap hak-hak itu. Dalam uraiannya, Soepomo menyebutkan gagasana Negara Integralistik merupakan gagasan asli bangsa Indonesia yang bersumber dari konsep “manunggaling kawala gusti”.

Hatta mengkritik gagasan yang disampaikan Soepomo tersebut dan menekan supaya Undang-Undang Dasar memasukan hak-hak dasar rakyat. Menurut Hatta tujuannya agar rakyat itu menjadi pengurus, yakni terjalinnya kerja sama dan gotong royong secara alamiah dan tumbuh dari kehendak hati nurani bukan paksaan semata. 

Meski Soepomo juga menghendaki rechtstaat (negara hukum) yang bertolak belakang dengan macthstaat (negara kekuasaan), namun Hatta tetap khawatir terhadap perkembangan negara hukum selanjutnya ke arah machtstaat. Sudut pandang Hatta ini merupakan penekanan dari kolektifisme-pluralistik.

Pengalaman budaya telah memengaruhi konsep berpikir dari kedua founding father kita, yakni antara Hatta dan Soepomo. Soepomo adalah aristokrat yang lahir di lingkungan budaya Jawa. Gagasan ia jelas terpengaruhi untuk membuat sebuah konsep negara yang konsentrik sepeti nilai-nilai yang ia hayati (di Jawa). 

Berbeda dengan Hatta yang lahir di Minangkabau, budaya di sana lebih desentralistik, seperti berlaku di sana sebuah nagari-nagari. Meski gagasan mereka berdua berbeda, terdapat persamaan yang menghindari transplantasi secara utuh budaya kolonial, yaitu liberalisme. Mereka tetap mentransplantasi peraturan kolonial itu sesuai dengan marwah dan kebudayaan bangsa dalam pemaknaannya. 

Indonesia menegaskan sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), negara yang berlandaskan pada batasan-batasan hukum (rehtstaat), batasan yang mengikat tadi juga menjamin hak-hak kebebasan (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945) sebagai bagian dari negara bangsa. Semua dianggap sama di hadapan hukum tanpa diskriminasi atau perbedaan hak dan kewajiban. 

Ketentuan negara hukum Indonesia tidak menjeleskannya lebih lanjut di dalam Undang Undang Dasar 1945 (amendemen). Namun sebagian pakar memberikan pandangannya, hukum yang berlaku bagi sebuah negara harus berpegangan pada sebuah ideologi. 

Walaupun terdapat sikap skeptis dari sebagian orang, penulis mengakui bahwa Pancasila merupakan ideologi Indonesia terhadap landasan awal bernergara dan bermasyarakat. Negara Hukum Pancasila adalah sikap netral dari corak eropa kontinetal dan anglo saxong (moderat). 

Bhineka Tunggal Ika telah membawa peradaban bangsa-bangsa ini hidup semakin memahami satu sama lain. Bukan saja diikat oleh rasa, keadaan, dan harapan yang sama, melainkan lebih jauh pandangan sebuah bangsa terhadap persatuan di dalam perbedaan, yaitu membawa kabar kepada dunia bahwa sebuah bangsa yang bhineka hidup dalam ikatan negara—Indonesia. Ini sungguh menakjubkan.

Indonesia adalah percontohan yang baik dalam menggambarkan sebuah toleransi. Abdurahman Wahid (Gsu Dur), memberikan analogi sebuah negara Indonesia sebagai rumah yang di dalamnya terdapat kamar-kamar—sebuah golongan. Untuk menciptakan keharmonisan di dalam rumah harus saling menghormati dan jangan sampai ada golongan dari kamar tertentu yang mengkalim rumah secara sepihak. 


Mempertahankan Negara Hukum Pancasila

Isu sentimen terhadap negara selalu hadir dalam ego primordial. Bahkan lebih radikal, mereka menunjukan sikap intoleransi dengan cara kekerasan dan persuasif, seperti upaya subversif dan propaganda kemerdekaan (peristiwa GAM, RMS, dan OPM). 

Penyebabnya, menurut Prof. Mahfud—dalam sebuah buku “Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan” diterbitkan oleh Sekjen Komisi Yudisial—bukan dari ketinggalan zaman sebuah ideologi (out of date). Lebih lanjut dijelaskan melainkan kurangnya penegakan hukum dan keadilan disertai dengan kesenjangan ekonomi dan sosial serta maraknya korupsi. 

Merespon hal itu, mengindikasikan bahwa hukum dan penegakannya merupakan sebuah nafas dalam negara, terutaman sangat riskan yang memiliki kencendurang perpecahan apabila tenun kebangsaan dilecehkan oleh sebagian golongan, terutama bagi mereka yang menempati kursi jabatan negara.

 Ditambah tantangan sebuah globalisasi-teknologi yang tak memiliki batas teritorial, dampaknya akan nyata terhadap pola pikir dan kemajemukan bangsa. Pada perkebangannya pasar bebas tidak dapat dihindari, sekali lagi ini merupakan dampak keadaan sebuah globalisasi-teknologi. 

Pasca amandemen Pasal 33 UUD 1945 tidak merefleksikan dan malah kebalikannya yang mengarah pada penerepan watak liberal. Ditandai juga dengan penghapusan GBHN 1998 (TAP MPR No. II/MPR/1998), terlihat antara basis hukum dan ekonomi mengalami kontradiksi, membawa sistem hukum ke arah yang rasional dan kekuatan kepastian hukum, bukan semata-mata kemaslahatan bersama.

 Merespon salah satu hal itu apabila para pemangku jabatan (stakeholder) tidak memperhatikan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat atau memaksakan kehendak dari produk globalisasi-teknologi (permisif) maka kita akan menunggu bom waktu. Di samping menjalankan melakukan tugasnya dengan baik dan benar, para pemangku jabatan itu juga harus memiliki sikap preventif terhadap perkembangan zaman. 

Hal itu harus dimulai dengan keadilan dan transparansi oleh sebuah lembaga, sehingga cita-cita sebuah negara Indonesia dapat dirasakan sebagai negara hukum. Oleh karena itu, menurut Azhari—dalam jurnalnnya “Negara Hukum Indonesia: Dekolonisiasi dan Rekonstruksi Tradisi—untuk mewujudkan Negara Hukum Pancasila yang sesungguhnya adalah pemulihan GBHN yang telah ditetapkan oleh MPR menjadi salah satu cara untuk menjaga koherensi anatara gagasan negara hukum dan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


(Tulisan ini dimuat di Kabar Banten pada Rabu, 12 Jan 2022) 


___

Arsip 9 Jan 2022

#Komentar Angkatan ke-10


Postingan Populer