Puisi-Puisi Nurhadi | (h)ahah (h)uhuh | Sajak Ilalang | Adinda
Puisi Nurhadi
(h)ahah (h)uhuh
Pandangmu menajam saku,
berhitung dengan derap bibir.
Tak sabar untuk merayap,
menanti lakonnya berakhir.
Cengir...
"Buat beli susu anak katanya."
Hahah sajalah aku.
Baginya hari adalah minggu,
merayu merayap melulu.
Kini sudah aku.
Matanya biru, meribu-ribu.
Bangkit mencari aku-aku yang lain.
"Segitu harga susu tak cukup?
Aih jalang juru, huhuh.
Tirtayasa, 30 Des 2021
Puisi Nurhadi
Sajak Ilalang
Dipaksa purna sebelum waktunya,
menangkis tangis dari kebanyakan anak yang merindukan taman,
di pundak hanya ada asa
dari ibu bapaknya yang entah ke mana.
Lihatlah bajunya semerbak darah perjuangan,
pula kau tengok lengannya itu menanggung resah,
namun usah kau sebut itu takdir.
Sedang kau menghalangi takdirnya.
Mereka bagian dari kita,
kau yang duduk sebagai wakilnya tentu merasa demikian.
Peraturan negara harus dijalankan,
kesejahteraan harus dibuktikan,
wakil rakyat harus turun ke jalan,
bagi semua keadilan harus dirasakan.
Jangan sampai terdapat sebuah nyanyian:
Duh, anak yang malang.
Berganti waktu, tidak dengan keadaan.
Duh, anak jalanan.
Menapak waktu di lautan dalam.
Duh, anak ilalang.
Mendapatkan hak "katanya" dalam undang-undang.
Tirtayasa, 8 Okt 2022
Puisi Nurhadi
Adinda
Berdebar laut asmara,
dari kidung panjangku
mengharap citra.
Yang mana bait demi baitnya,
kuwartakan namamu itu
segenap rasa.
Mereka bilang itu percuma;
yah... apalah daya,
jiwa ini telah melekat pada kata.
Hai pujangga! aku bersaksi.
Demi malam yang padam ini,
kutentukan dirinya di diriku.
Aku juga berani bersumpah,
diriku di dirinya.
Adinda, adinda, adinda!
Bukankah kau yang meneguhkan
begitu padaku.
Putus asa adalah manusia mati.
Mati semati-matinya.
Hampir saja aku putus asa.
Mati semati-sematinya.
Hai dikau sana sang singgasana.
Menyaru waktu rupa kasta.
Aku belum mati.
Hidupku tidak mati.
Jiwa cinta takkan mati.
Tirtayasa, 15 Jan 2022
____
Arsip Minggu, 16 Jan 2022
#Komentar Angkatan ke-10