Cerpen Kapsah | Dialogku dengan Hujan

 Cerpen Kapsah



Di dalam mobil angkutan umum berwarna merah lumayan membuatku sedikit berkeringat. Untungnya tertolong dengan candaan yang diciptakan oleh teman-teman, adik kelas, dan dua ibu guru cantik yang menemani kami mengikuti perlombaan di bidang akademik. Di tengah perjalanan pulang menuju sekolah tercinta, cuaca pun mendung, hingga akhirnya timbul gerimis seperti seorang ibu yang ingin memastikan anaknya pulang sampai rumah dengan selamat. Di dalam angkot merah itu juga, Ibu Murni menanyakan satu-satu dengan siapa siswanya pulang. Ketika itu dia menitipkan aku sama Dika agar aku pulang ikut dia. Aku hanya diam karena merasa tidak ada pilihan lain untuk aku bisa pulang.

Dika itu teman sekelasku. Kami satu kampung, dia juga teman SD-ku dulu. Dia tinggi, kurus, rambutnya selalu terjaga rapi sejak SD, dan berkulit lebih putih dibanding aku, selebihnya aku tak bisa banyak menjelaskan sifatnya yang pasti dia baik tapi bagiku misterius. Jangan tanya kenapa dia kuanggap misterius karena sampai sekarang juga aku tak tahu mungkin hanya karena aku kurang mengenalnya dengan begitu baik meskipun sempat berpikir bahwa mungkin aku telah menyakitinya. 

“Ah, salah siapa dia tidak menjelaskannya padaku,” egoku kadang berpikir seperti itu.

Gerimis tak kunjung reda bahkan bertambah lebat. Alhamdulilah kami semua sudah sampai depan gerbang sekolah. Satu per satu kami turun dari angkot merah secara bergantian. Aku sedikit menjinjing rok abu-abuku kemudian berlari kecil disamping warung untuk menunggunya dengan rasa yang sebenarnya tak ingin dan tak enak hati sembari berharap hujan segera reda.

Dalam pandangan mata penuh garis-garis berirama dan berembun, aku melihatnya bersama dengan motor birunya semakin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di tempatku berdiri. Terlihat seperti orang tak tahu malu aku langsung menaiki motornya. Padahal sebenarnya aku hanya berusaha untuk segera agar dia tak lama terguyur hujan.

 “Sudah?” kata pertama yang dia ucapkan untuk memastikan apakah aku sudah di atas sepeda motornya. 

Kujawab “iya” yang kubarengi dengan anggukan yang sebenarnya aku tahu dia tak mungkin menengok dan menatap ke arahku.

Di sepanjang perjalanan, aku yang dengan tetap menjaga rok biruku dari percikan air hujan yang tertampung di lubang jalan, begitu pun dengannya, yang aku rasa juga berhati-hati agar ban motornya tidak terjebak di lobang jalan. Aku sengaja menatapnya dari samping, lumayan lama, karena aku lihat beberapa kali tangan kirinya mengusap tetesan hujan yang pecah di wajahnya.

“Hujan, aku merasakannya,” keluhku saat butiran hujan jatuh tepat di pelupuk mataku. Aku membayangkan dia yang sedang mengendarai motor harus merasakan betapa sakitnya tetesan hujan yang jatuh tepat di matanya. Entah sebenarnya apa yang dirasakannya, yang pasti jarak dari sekolah ke rumah kami lumayan jauh dan sejauh itu kami berdua rela terguyur hujan, dan waktu itu aku hanya bisa berdoa.

“Hujannya tambah deras nih cari tempat neduh dulu yuk!” kalimat ajakan yang tertahan di hati oleh ribuan tetesan hujan hingga tak sampai ke telinganya.

Dengan kondisiku yang sudah basah kuyup dan masih menadah hujan meski sudah menggigil, aku sibuk merangkai kata, melihat-lihat sekitar dan memikirkan di mana dan kapan Aku harus mengatakan itu. Tapi, butiran hujan yang jatuh di mata dan di bibirku mengisyaratkan bahwa aku harus diam. Gemuruh yang terdengar kala itu beradu dengan besitan kegelisahanku yang merasakan betapa lamanya perjalanan ini. Bukan aku tak suka berlama-lama dengannya, aku tak tega melihatnya menahan dingin dan berulang kali mengusap wajahnya sembari tetap mengendarai motor, sedangkan aku hanya bisa duduk diam di belakangnya. 

“Tuhan….”

“Oh, Tuhan….”

“Ya, Tuhan….”

Aduan dan keluhku dalam hati mengingat dan menyebut nama Tuhan, mengikuti irama suara hujan yang jatuh di sepanjang jalan yang kita lewati. 

Melewati dermaga berbatu dan bertanah yang tertutup air, tepat di depan rumah kecil berpagar bambu yang dihiasi aliran air dari atap rumah yang mulai rapuh, dia menghentikan sepeda motornya mengisyaratkan bahwa aku sudah sampai dan harus turun.

Aku turun perlahan. 

“Terima kasih.” 

Kata kedua yang berani kuucapkan waktu itu setelah "iya". Rasanya terlalu jika aku tidak berani melontarkannya. Aku sudah cukup menyesal karena tidak berani megajaknya untuk meneduh. Aku suka hujan, tapi aku tak suka kenangan ini. Aku sudah mencoba turun secara perlahan, rokku tersangkut di pijakan kiri motornya, untuk terakhir kalinya aku melihat tangan kirinya mengusap air hujan di wajahnya. Kali ini kulihat jelas ketika dia menengok ke arahku lalu mengangguk dan berkata “sama-sama”.

Kubaringkan tubuh lelahku sambil menatap atap kamarku yang sederhana. Akhirnya, kusadari bahwa betapa banyak kalimat yang kucurahkan bersama hujan. Hanya dua kata yang berani kita berdua lontarkan yang sebenarnya ada selama di perjalanan.

Bagaimana bisa aku melupakan dua kata itu bukankah justru lebih mudah untuk diingat seperti aku yang lebih mudah sering mengingatnya.


___

Arsip 6 Feb 2021

Postingan Populer