Cerpen Kapsah | Tedeng Siluman Babi
Cerpen Kapsah
Minggu pagi hampir seluruh warga sekampung, khususnya para bapak dan pemuda, berbondong-bondong menuju musala. Karena hari pertama, semuanya bergotong royong membongkar musala yang akan direhab itu. Ibu-ibu kompak masak bersama untuk makan siang, serta beberapa pemudi menyiapkan jamuan dalam wadah. Sebagian mencuci gelas bekas kopi.
Asiyah terjatuh dan ambruk di atas amben dalam tenda tempat masak. Beberapa menjerit kaget, takut, dan minta bantuan. Asiyah dibopong oleh enam bapak-bapak, termasuk suaminya menuju rumah terdekat. Tubuhnya yang gemuk, matanya melotot dan mendengkur-menggelegar. Dari mulutnya selalu keluar air liur. Orang pintar dipanggil untuk mengeluarkan jin yang merasuki Asiyah. Namun sampai hampir setengah jam, dua orang pintar di kampung tidak bisa mengeluarkan jin yang ada di tubuh Asiyah. Salah satunya menyarankan untuk segera menjemput Robi’ah, tetangga kampung sebelah.
Tidak lama Robi’ah datang. Asiyah langsung didudukkan dan ditopang oleh seseorang agar tidak terbaring. Beberapa menit tangan Robi’ah seperti mencari letak untuk menyentuh makhluk yang merasuki Asiyah kemudian minta suaminya untuk mengumandangkan Azan di telinga istrinya itu.
“Pulang sudah azan subuh,” kata Robi’ah di telinga Asiyah, sambil menepuk-nepuk bahu Asiyah, “siluman babi!” ungkap Robi’ah setelah meniup kedua telinga Asiyah sambil melirik ke beberapa orang yang menyaksikan.
Semua kaget, pantas saja susah dan tidak mau keluar serta bersuara seperti orang yang mendengkur keras. Bertahun-tahun tidak ada orang yang pernah kesurupan siluman babi di kampung ini. Langsung saja ada yang mengaitkan dan mengira bahwa di kampung ini ada yang melakukan pesugihan.
Keesokan harinya di kelompok nasabah Bank BTPN Syariah ramai kalau Bu Sapinah kehilangan perhiasannya. Berita itu langsung menyebar. Beberapa orang semakin yakin kalau di kampung ini ada yang melakukan pesugihan. Memang sekarang ibu-ibu kumpul bukan hanya di majelis taklim dan kegiatan sosial lainnya, tetapi juga banyak kelompok nasabah dari berbagai bank. Katanya sih untuk mendukung UMKM, tapi ternyata beberapa orang juga ikut bergabung bukan untuk mengembangkan usaha atau memulai usaha, melainkan juga ada yang hanya untuk memenuhi gaya hidupnya.
Makin banyaknya orang yang terjerat utang karena mereka tergiur diajak oleh tetangganya dan prosesnya yang mudah. Akhirnya, meskipun tidak ada kebutuhan mendesak beberapa orang termasuk aku ikut mendaftar menjadi nasabah.
Hari berikutnya ibu-ibu yang ikut menjadi nasabah Bank Mekar kumpul. Riuh masing-masing membawa kisah dan cerita, saling berbagi sambil menunggu petugas datang.
“Lah, uang saya kurang seratus,” Napisah heran dan panik melihat uang yang diselipkan pada kartu angsurannya tiba-tiba berkurang setelah ditinggal.mengantar anaknya jajan di penjual keliling.
“Mungkin lupa, memang bawanya kurang Bu,” ungkapku.
“Enggak Bu Risah. Saya sudah hitung semuanya seratus lima puluh ribu rupiah.”
Bu Napisah balik lagi dan mengambil uang yang kurang, dalam benaknya ada yang aneh dan heran. Semua saling bergunjing, mengira babi ngepet ada juga siang hari. Teringat kejadian Ibu Asiyah yang kerasupan siluman babi. Prasangka pun saling bermunculan tentang seseorang yang melakukan pesugihan.
Keesokan harinya beberapa ibu-ibu ramai kembali kumpul untuk mendaftar menjadi anggota nasabah di Bank AMMAN. Ada yang sampai pinjam atas nama orang lain agar bisa melakukan pinjaman lebih banyak. Lagi-lagi pinjam uang bukan untuk mengembangkan usaha, tapi untuk mengangsur di bank sebelumnya. Apalagi rata-rata semuanya menjadi nasabah bukan hanya di satu bank dan bukan hanya satu nama. Jadi bisa dibayangkan betapa pusingnya mencari uang untuk angsuran seminggu.
Senin, aku harus punya uang tiga ratus ribu rupiah untuk membayar angsuran atas namaku dan nama ibuku. Selasa, aku harus menyiapkan uang dua ratus ribu rupiah. Rabu, tujuh puluh lima ribu rupiah dan hari kamis aku harus siapkan tiga ratus ribu rupiah karena aku pinjam pakai tiga nama, atas namaku, ibu, dan tetanggaku. Seminggu aku harus punya uang delapan ratus lima puluh ribu rupiah untuk membayar angsuran saja. Belum kebutuhan susu dan popok anak bayiku dan makan sehari-hari, sedangkan semuanya angsuran rata-rata sampai satu tahun.
Awalnya ringan-ringan saja karena suami masih dapat kerjaan di proyek. Sudah jalan sebulan lebih semuanya terasa rumit. Ingin rasanya segera keluar dari jeratan utang ini. Hati terasa terkoyak ketika melihat suami harus kerja apa saja sampai subuh hanya demi memenuhi bayar angsuran yang hampir setiap hari. Hanya hari Jumat sampai minggu kita bisa sedikit menarik napas dan sedikit berleha-leha. Lebih teriris rasanya melihat anak pertamaku yang badannya kurus karena kurang jajan dan sering kena amarah kita berdua.
Sampai pada suatu waktu suamiku didiagnosis terkena kanker paru-paru. Awalnya sakit biasa kemudian batuk tak berhenti sampai suaranya habis. Namun, suamiku masih tetap bekerja. Kemudian diantar berobat oleh mertuaku dan harus dirawat beberapa hari. Semenjak suamiku sakit, kebutuhanku dipenuhi oleh orang tua dan mertuaku, termasuk bergantian untuk memenuhi angsuranku di bank. Namun, baru seminggu orang tua dan mertuaku sudah bosan. Pada pertemuan nasabah minggu berikutnya bu Titi cerita kalau ia sering kehilangan beras beberapa liter.
“Saya heran minggu-minggu ini hampir setiap hari setiap saya pulang kerja, beras yang disimpan diember di dapur sering berkurang dan bekasnya berceceran seperti terburu-buru,” keluhnya pada ibu-ibu yang lain.
Akhirnya semua berpendapat bahwa tidak mungkin babi ngepet mengambil beras. Setelah hampir semua warga sudah tidak percaya lagi bahwa ada babi ngepet dan orang yang melakukan pesugihan di kampung ini. Sebelum dicurigai, meskipun ada yang melirikku ketika Bu Titi cerita. Semenjak itu aku pun berhenti mengambil perhiasan, meraba kantong gamis ibu-ibu dan menakar beras Bu Titi yang rumahnya jarang terkunci karena suaminya pelupa itu agar aku tetap bisa mengangsur hutangku di bank. Untung saja suamiku meskipun harus rutin minum obat dan berobat jalan, tapi sudah bisa bekerja kembali.
Arsip #Komentar 10
Minggu, 13 Maret 2022