Cerpen Rahma Azmina | Cahaya Sirna
Cerpen Rahma Azmina
“Fer, ga pulang?” tanya lelaki berseragam putih biru menepuk pundak Ferdinand.
Seketika lamunannya buyar, “ini mau pulang kok,” ucap Ferdinand dengan senyum palsu.
Sebenarnya Ferdinand merasa malas untuk pulang, jelas saja sebab setiap kali Ferdinand ke Rumah tingkat dua bercat coklat itu selalu saja sepi.
“Ya udah, gue duluan ya.”
“Buru-buru amat dik?”
“Iyalahh soalnya mau liburan keluargaa mumpung besok libur heheh,” ucap lelaki yang membuyarkan lamunan Ferdinand, yang tak lain Dika namanya. Dari wajahnya tersirat kebahagiaan yang dinanti-nanti Dika.
“Oh, have fun.”
Dika bergegas mengambil tasnya dan keluar dari ruang kelas. Kini Ferdinand kembali melamun.
‘Enak banget, dapat perhatian dari kedua orang tuanya. Setiap liburan piknik, jalan-jalann, lah gue? Pulang ke rumah sepi, boro-boro liburan keluarga gue pulang ke Rumah aja ngga ada yang sambut,' batin Ferdinand diakhiri embusan nafasnya kencang.
***
Ferdinand menarik selimut, lalu mematikan lampu. Belum lama terlelap, bel berbunyi, sontak Ferdinand terbangun dari tidurnya dan membuka pintu. Ferdinand sudah hafal betul siapa yang menekan bel larut malam, tak lain kedua orang tuanya.
“Kriet.” Ferdinand membuka pintu.
Wanita berambut hitam panjang diikuti pria bertubuh jangkung berisi memasuki rumah.
“Loh ferr belum tidur?” tanya wanita tersebut yang tak lain ibu Ferdinand, Dienand.
“Sudah malam, besok kamu sekolah.” Sahut pria yang berada di samping Dienand, Ferry.
“Baru aja aku mau tidur kok pah, mah.”
“Ya ampunn kami membangunkan kamu ya?” tanya Dienand tak enak hati.
“Ngga papa kok. Hmm besok kita liburan ngga pah, mah?”
“Duhh gimana yaa papah capek habis kerja, lain kali ya?”
“Ehm mamah juga capek fer, next time ya.”
“Kenapa sih, kalian selalu bilang lain waktu dengan alasan capek kerja. Ini udah kesekian kalinya Papah sama Mamah janji, Ferdinand cape nunggu yang akhirnya cuma janji. Ferdinand iri sama teman-teman, setiap hari libur mereka jalan-jalan; piknik keluarga. Sedangkan Ferdinand? Jangankan untuk jalan-jalan, setiap pulang sekolah pun Ferdinand sendiri kesepian di rumah.”
“Kalau salah satu dari kami tidak bekerja bagaimana caranya memenuhi kebutuhan? Ditambah lagi untuk biaya pendidikanmu,” ujar Ferry yang sudah bosan memperdebatkan hal yang sama lalu langsung menuju kamar untuk istirahat.
Dienand mengekor suaminya. Ferdinand hanya terdiam tanpa berkata-kata, rasa kantuk yang menyerangnya kini sirna. Ia menuju kamar, berbaring di atas kasurnya dengan nuansa biru laut. Ferdinand menatap dinding, pikirannya sedang melayang-layang.
Ferdinand berpikir keras, ‘ah aku tau caranya untuk mendapat perhatian.’
***
Sinar matahari menembus celah-celah ventilasi, Ferdinand yang sebenarnya sudah bangun sedari tadi; ia sengaja kembali tidur. Alarm yang berbunyi dihiraukan Ferdinand.
Di hari senin, tentunya mereka memulai aktivitas kembali tanpa liburan keluarga seperti yang diharapkan Ferdinand. Kedua orang tua Ferdinand telah berangkat kerja sejak pagi buta, Ferdinand tahu akan hal itu hingga tak ada gunanya ia sengaja bangun siang. Ferdinand bergegas mandi tanpa berkata lalu sengaja mengenakan seragam ala preman.
Seperti biasa OSIS mengawasi setiap murid, sebelum memasuki lingkungan Sekolah mereka akan di cek satu persatu. Dengan santainya Ferdinand melewati para anggota OSIS.
“Ehh fer, lo kesambet?” tanya laki-laki terbelalak dengan mulut menganga.
“Ck apaan sih, ada perlu apa lo sampe buat gue berenti?”
“Wihh gayanya preman bener, awas kaga ada cewe yang nyantol. Hahaha,” guyon laki-laki yang terbelalak tadi.
Ferdinand tak menggubris, ia langsung lanjut berjalan. Sesampainya di bibir pintu kelas, Ferdinand berbalik badan dan pergi menuju kantin. Bel masuk berbunyi, Ferdinand tak menghiraukan dan justru mencari tempat bolos lainnya.
“Woy fer, lo udah gila? Ngapain lo bolos, hah! Gue yang jadi ketua kelas, gue yang kena semprot!” protes laki-laki bertubuh kurus tinggi.
“Berisik lo.” Ferdinand melayangkan kepalan tangan ke wajah laki-laki tersebut.
Darah mengalir dari hidung ketua kelas, Ferdinand tak peduli dan langsung pergi tanpa rasa bersalah. Semua tatap mata memandangnya geram, ada juga yang ketakutan dengan tingkah Ferdinand. Sebenarnya dalam hati kecil Ferdinand, ia merasa amat bersalah. Sang ketua kelas dibawa ke UKS, alhasil pihak sekolah yang tahu kelakuan buruk Ferdinand memanggil kedua orang tuanya.
“Percuma pakk orang tua saya ngga bakal dateng,” ucap Ferdinand santai dengan menyandarkan tubuhnya di kursi.
Para guru hanya saling pandang dan menyerahkan surat untuk kedua orang tua Ferdinand.
Sepulang Sekolah, Ferdinand kini tak menunggu kedua orang tuanya. Ia hanya mengirim foto surat panggilan yang berisi tentang kenakalan Ferdinand.
Malam yang gelap, lebih terasa mencekam ketimbang malam sebelumnya.
“Lihat ini! Kelakuan anakmu, bagaimana cara kamu mendidiknya selama ini hah!” bentak Ferry.
“Kenapa hanya aku? memangnya kau sudah melakukan tugasmu dengan benar? Kau pun sama sepertiku, masih memprioritaskan pekerjaan bukan?” Dienand membela diri.
“Plakk!” tanpa mengucap Ferry melayangkan tangannya dengan ringan mendarat di pipi mulus Dienand.
Hari-hari berikutnya pun sama, mereka bertengkar hebat hingga tak jarang mata akan bengkak habis menangis atau ada memar pada tubuh Dienand. Parahnya, perabotan rumah tangga sering dijadikan alat untuk saling melempar.
“Aku capek, huhuhu.” Dienand menangis histeris memecah tenangnya malam.
“Memangnya kamu kira aku tidak capek?”
“Capek apa, aku tanya capek apa hah! Kau hanya memukul, melepas tanggung jawab soal Ferdinand.”
“Kurang ajar—“ Ferry berniat melayangkan tangannya kembali namun terhenti.
“Apa? Kau mau memukul lagi bukan? Kenapa diam, pukul!”
“Sudahlah, percuma. Kita cerai saja.”
“Kau kira aku takut? Aku memang ingin bercerai!” Dienand membalikkan badan menuju kamar, memasukkan pakaiannya ke dalam koper ungu. “Aku pergi, titip Ferdinand.”
***
“Fer? Ini beneran lo?” tanya salah ketua kelas.Ferdinand tak menjawab, hanya ada tatapan dingin hampa. “Ferdinand? Istirahat ke rooftop yuk. Kalo ngga jawab gue anggap lo setuju.”
Bel istirahat berbunyi, masih dengan tatapan kosong Ferdinand menatap fokus ke papan tulis.
“Fer, yuk ke rooftop.” Ketua kelas menarik tangan Ferdinand.
Di rooftop, ketua kelas membuka obrolan.
“Fer, ferr, Ferdinand!”
“Eh, apa? Kenapa?”
“Lo sekarang ngga jadi preman lagi? Ceritanya jadi anak teladan nih, liat penampilan lo plus lo suka maju jawab pertanyaan guru. Tapii kok lo kayak lebih kalem ya?”
“Eh sorry ya soal tempo hari, gue nyesel.”
“Santai lahh, ehm emang lo kenapa si bro gampang banget berubah sifat keyak bunglon.”
“Kepo lo ahahah, “ canda Ferdinand.
“Laelahh ya udah deh, serah lo. Pertahankan ya bro, gue cabut.”
Ferdinand hanya mengangguk dengan menatap pemandangan dari rooftop.
Tiga bulan berlalu, kedua orang tua Ferdinand tak kunjung rujuk.
‘Ahh sia-sia ya, andai ajaa gue mikir panjang.’ Ferdinand menangis di perpustakaan dengan air mata yang membasahi pipi, orang lain akan mengira Ferdinand membaca buku sebab buku besar bersampul merah menutupi seluruh wajahnya.
“Pstt eh itu Ferdinand kan? dia introvert ya, sendiri mulu,” bisik salah satu murid di perpustakaan, dari suaranya ia perempuan.
“Gue juga ga paham, dia sekelas sama gue tapi yaa gitu. Gue kalo ngajak ngomong serasa ngomong sama tembok.”
Ferdinand selalu dibayang-bayangi rasa bersalah, andai saja ia tidak berbuat nakal. Di rumah yang sepi, Ferdinand duduk dengan kaki ditekuk. Kepalanya tertunduk, ia mengambil cutter dari dalam tasnya. Ia mulai menyayat tangannya sendiri sambil terus menyalahkan diri, entah sejak kapan ia begini. Yang pasti ia selalu melakukannya saat benar-benar sendirian, atau ia sengaja mencari tempat sepi. Di Sekolah, terlebih lagi di Rumah yang selalu sepi.
____
Arsip 2 #Komentar 11