Makalah Diskusi Nursiyah | SEJARAH, TEORI, DAN APLIKASI KRITIK SASTRA FEMINIS PADA CERPEN AIR KARYA DJENAR MAESA AYU

Oleh Nursiyah Faa



Pengertian

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra yang memanfaatkan kerangka teori feminis dalam menginterpretasi dan memberikan evaluasi terhadap karya sastra. Kritik sastra muncul karena rasa ketidak adilan yang dirasakan oleh kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini menyulut sebuah gerakan yang dikenal dengan gerakan feminis. Gerakan ini menyebar kehampir seluruh sektor kehidupan tanpa terkecuali dunia sastra. 

Kritik sastra feminis terbagi menjadi 3 kata, kritik, sastra dan feminis. 

Kririk secara etimologis berasal dari kata kries (bahasa Yunani) yang berarti hakim. Kata kerjanya adalah Krinein (menghakimi, membandingkan dan menimbang) (Wellek, 1978; Pradopo, 1997).

Sastra sendiri merupakan kata serapan dari bahasa sanksekerta yaitu saahstra yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman. Saahstra berasal dari dari kata dasar sas- atau shaas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Dan tra berarti alat atau sarana (Wikipedia). Jadi sastra dapat disimpulkan adalah suatu alat berupa teks yang mengandung unsur pedoman untuk memberi petunjuk.

Abram (1981) menytakan bahwa kritik sastra adalah suatu studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan dan penilain suatu karya sastra. Ada begitu banyak pengertian dari kritik sastra, dari sekian banyaknya kritik sastra menunjukan bahwa kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang berhubungan langsung dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran), analisis (penguraian) dan evaluasi (penilaian). Adapun perbedaan ketiga tahapan kritik sastra tersebut adalah sebagai berikut.

Interpretasi adalah upaya memahami suatu karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra tersebut. Dengan cara memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis, prafarasa (penyederhanaan diksi), jenis sastra, aliran sastra, serta latar belakang (historis) yang mendasari karya tersebut.

Analisis adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya (Pradopo, 1982). Denagn dilakukan analisis, suatu karya sastra yang kompleks atau rumit dapat mudah dipahami dengan cara menganalisis unsur-unsur yang membangun dalam karya tersebut, seperti unsur alur cerita, tokoh dan perwatakan, latar, tema, judul, sudut pandang cerita, serta bahasa atau gaya bahasa yang digunakan.

Terakhir adalah evaluasi atau penilaian adalah suatu usaha untuk menentukan kadar keindahan atau keberhasilan suatu karya yang dikritik, secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra. Baik secara umum maupun berdasarkan jenis sastra tertentu. 


Sejarah

Berbicara tentang feminis tidak lepas dari sejarah feminis itu sendiri. Feminis yaitu sebuah gerakan dipelopori oleh perempuan, muncul pertama kali di Amerika Serikat (AS) dan menjadi perintis gerakan ini. Menurut Soenarti Djayanegara dalam bukunya yang berjudul Kritik Satra Feminis, menyimpulkan bahwa terdapat tiga Faktor yang memicu gerakan feminis di AS, yaitu Faktor politik, keagamaan dan sosial. 

Faktor politik bermula pada saat AS memproklamirkan kemerdekaannya pada 1776. Salah satu deklari kemerdekaan dari proklamasi itu adalah all men are created equal (semua laki-laki diciptakan sama) dengan tanpa menyebutkan kata perempuan didalamnya. Para feminis merasa bahwa pemerintah AS tidak peduli pada kepentingan perempuan. Deklarasi itu akhirnya memicu munculnya gerakan perempuan yang dilakukan secara terorganisir yang dikenal dengan Women Great Rebellion (Pemberontakan Besar Perempuan). Para feminis memproklamirkan versi lain dari deklarasi kemerdekaan AS, yaitu All men and women created equal (Semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama).

Faktor ke dua adalah agama. Faktor ini dituduh tidak kalah penting bagi munculnya gerakana feminis. Dalam ajaran Kristen baik Protestan maupun Katolik menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sebagai contoh, Martin Luther dan John Calvin dalam ajaran-jarannya menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menyembah tuhan. Namun perempuan tidak layak bepergian, selain itu juga harus tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga. Perempuan hanya ditempatkan pada bagian domestic. Bahkan dalam ajaran islam, sebelum Muhammad diutus menjadi nabi dan rosul (zaman jahiliyah), kaum perempuan di Jazirah Arab banyak dijadikan budak. Bahkan bayi perempuan yang baru lahir dibunuh oleh keluarganya. Seakan nilai perempuan rendah dan hina.

Faktor ke tiga adalah konsep sosial. Menurut kaum feminis, kaum perempuan merupakan kelas yang sering ditindas (proletar) oleh kelain lain yaitu laki-laki (borjuis). Syalan dengan konsep Marxisme, perempuan sebagai kelas yang tertindas tidak memiliki nilai ekonomi sebab pekerjaan rumah tangga dianggap tidak berharga karena tidak menghasilakan nilai ekonomi sebagaimana pekerjaan laki-laki. Ketiga aspek inilah yang dijadikan alas an dan landasan gerakan feminis di AS yang menjadi basis awal gerakan feminis dunia.

Menurut ensiklopedia feminis, kritis sastra feminis kontemporer dimulai dengan munculnya karya Kate Millet (1970) yang berjudul Sexual Politics. Dalam bukunya itu ia meletakan persoalan sastra dalam konteks politik patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan property. 

Feminis secara sederhana mengacu pada aliran atau ideologi yang menginginkan adanya keadilan dan kesetaraan gender. Karena cita-citanya tersebut, maka feminis dianggap sebagai ideologi pembebasan perempuan yang berangkat dari keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidak adilan karena jenis kelaminnya. Feminis menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab dan pelaku dari penindasan perempuan (Humm, 2007: 157-158). Dengan demikian feminis bertujuan untuk mengakhiri dominasi terhadap perempuan (Ruthven, 1985:6).

Di Indonesi, kritik sastra terutama kritik sastra feminis adalah hal yang baru dan belum banyak berkembang. H. B. Jassin adalah kritikus Indonesia. Dalam kurun waktu yang lama ia bekerja sendiri di bidang kritik sastra. Pada 1970-1980 sejumlah orang mengikuti jejaknya, seperti Umar Junus, Sapardi Djoko Damono, Jakob Sumardjo dll. Kritikus-kritikus tersebut didominasi oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan sangat jarang terwakili dalam kritik sastra. Pada 1960 Boen S. Oemarjati adalah kritikus pertama perempuan dan sudah lama meninggalkan bidang kritik sastra.


PENGAPILKASIAN KRITIK SASTRA FEMINIS

Kritik sastra feminis ini pada dasarnya adalah kepentingan sosial dan budaya dibandingkan dengan tujuan kritik sastra pada umumnya. Sebab kritik sastra feminis pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan kaum perempuan dalam menyuarakan hak-haknya serta mengangkat harkat dan martabat perempuan yang tertindas dan teraniaya ditinjau dari sudut pandang sastra. Sehingga ilmu ini tidak memiliki konsep tunggal akan tetapi berkaitan erat dengan ilmu lainnya seperti sosial, budaya dan bahasa.

Ada dua kategori dalam sastra feminis, pertama yaitu sastra yang ditulis oleh perempuan itu sendiri, yang mengilustrasikan dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta ketertarikannya dengan laki-laki. Atau menceritakan pengalaman perempuan lainnya, seperti pengalaman hidup dan sebagainya. Kedua, karya sastra yang ditulis oleh laki-laki namun didalamnya menceritakan atau menggambarkan perempuan dalam tulisannya tersebut.

Suatu tulisan karya sastra dinilai feminis tentu diperlukan seorang kritikus untuk menggali keberpihakan suatu karya sastra kepeda perempuan, yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminis sebagai tolak ukurnya. Sebagai contoh ada beberapa sastrawan perempuan seperti Djenar Maesa Ayu. 

Djenar Maesa Ayu dalam karya-karyanya bercerita tentang perempuan. Seperti dalam kumpulan cerpennya SAIA, ia bercerita realitas perempuan modern. Pada setiap ceritanya terdapat pesan-pesan dan gagasan-gagasan feminise yang berlawanan dengan sistem partiarkat yang selama ini masih dianut oleh masyarakat Indonesia. Perempuan dalam cerita-ceritanya menuntut hak dan kemerdekaan atas tubuh, hati dan pikiran mereka. Pada cerita pendeknya yang berjudul Air, tokoh perempuan mendapatkan perlakuan tidak adil kemudian ia berjuang melawan penindasan dari laki-laki. 

Pada cerita pendek Air, permasalahan tokoh peratama kali dihadapkan dengan ketidakbertanggung jawabnya laki-laki atas apa yang ia pernah lakukan terhadap tubuh perempuan, menghamilinya diluar nikah. Bagi kaum laki-laki, perempuan hanyalah kaum lemah yang mudah dirayu. Hanya diiming-imingi janji manis agar dapat memuaskan gairah nafsu birahinya dan setelah itu ditinggalkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban. Lantas perempuan yang terlanjur terjerumus dalam buaian laki-laki dan terlanjur hamil tanpa suami, pada akhirnya mereka berjuang sendiri. Berjuang menahan cemoohan orang sekitar, berjuang mengandung sembilan bulan, melahirkan dan membesarkan anak seorang diri tanpa dampingan dari sosok suami. 

“Akan kita apakan calon bayi ini? Kita masih terlalu muda,” kata ayahnya. 

Kutipan di atas sangat menjelaskan bahwa laki-laki, calon ayah dari si jabang bayi tidak menginginkan kehadiran bayi tersebut dengan alasan masih muda. Pada akhirnya tokoh perempuan ditingglkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban apa-apa. Dalam kondisi mengandung, tokoh perempuan berjuang seorang diri, bekerja sebagai SPG agar bisa membeli makanan bergizi untuk cabang bayi dan kebutuhan sehari-hari. Namun di tempat perempaun itu bekerja tidak lagi bisa memperkerjakannya karena peraturan kerja melarang mempekerjakan perempuan hamil. Seperti tergambar dengan jelas pada kutipan di bawah ini.

“Kami mengerti, tapi perutmu sudah kelihatan besar. Kami tidak bisa mempekerjakan SPG yang kelihatan sedang hamil,” kata supervisor saya.

Perjuangan tokoh perempuan tidak berhenti sampai disitu. Bagaimana ia dihadapkan dengan permasalahan baru, ketika ia menemukan minuman keras di gelas samping meja tempat tidur anaknya. Merasa bahwa usaha atau upaya yang tokoh perempuan untuk mendidik dan membahagiakan anaknya telah gagal. Kalimat Saya akan menjaganya pada tiap kutipan dialog sebelumnya berubah menjadi Saya tak kuasa menjaganya. 

Keputusasaan menghinggapi tokoh utama, seperti tergambar dengan jelas pada kalimat berikut.

Air kuning kental itu meluap dari mulut saya, kata mereka. Lima puluh pil penenang saya tenggak. Harusnya seratus pil seperti yang dikonsumsi Marlyn Manroe hingga ajal menjemputnya …. Namun harapan untuk kembali memulai hidup dengan baik itu selalu ada pada setiap perempuan walaupun pernah jatuh pada titik paling rendah dalam hidupnya. Seperti dalam kalimat dan kutipan puisi yang menutup cereita tersebut.

Saya kembali ke kamarnya. Duduk di samping tempat tidurnya ….

Air dapat memelukmu

Tapi tak dapat membelenggumu

Air dapat pantulkan cahayamu

Tapi tak dapat jadikan nyata

Dan kalimat terakhir dalam cerpennya adalah Saya akan menjagamu, adalah kekuatan tokoh perempuan dalam harapan hidup yang lebih baik. Kalimat tersebut merupakan gambaran dan memberikan inspirasi kepada perempuan lain untuk tetap berpikir jernih dalam mengatasi masalah-masalah ketidak adilan gender yang terjadi dilingkungan masyarakat sekitar. Kaum perempuan dimanapun tinggalnya memiliki kemerdekaan atas dirinya sendiri sebagaimana manusia merdeka. 


Serang, Juli 2022


_____

(Disampaikan dalam kajian bulanan #Komentar, Minggu 3 Juli 2022)


Postingan Populer