Esai Mela Sri Ayuni | Lantas, Perempuan Harus Seperti Apa?

Esai Mela Sri Ayuni




Perempuan merupakan tiang negara dan satu perempuan menentukan satu peradaban Kalimat ini sering sekali kita dengar dan bahkan, sudah bukan hal yang tabu lagi di lingkungan masyarakat. Maka dari itu, disinilah peran dan fungsi perempuan di pertanyakan. Menurut Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) Penduduk, Indonesia di tahun 2020 sebanyak 271.349.889 jiwa data tersebut merupakan bentuk pengintegrasian antara dukcapil dan 514 kabupaten/kota dan BPS untuk mewujudkan satu data Indonesia (merdeka.com di akses pada tanggal 1 Agustus 2022). Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. 

Perempuan pada umumnya memiliki sifat dan karakter yang baik, ramah, sopan dan lain sebagainya. Dengan ini, perempuan akan memberikan kontribusi baik kepada negara untuk mewujudkan indeks pembangunan manusia. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya westernisasi (budaya kebarat- baratan) ke Indonesia, ini dengan mudah akan mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan, namun perempuan disini tampaknya lebih mudah terbuai dan mengikuti perkembangan dan perubahan zaman, seperti pakaian, gaya bahasa, dan prilaku. Hal tersebut membuat perempuan masa kini kehilangan jati diri hingga lupa dari mana mereka berasal. Perempuan saat ini lebih mudah menerima bahkan meniru perubahan yang ada tanpa mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. 

Entin (bukan nama sebenarnya) perempuan budaya yang memilih pergi ke kota untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, awalnya Entin perempuan yang berbudi luhur dan berpakaian sopan. Namun, semenjak pulang dari kota pola kehidupannya jauh berbeda dari sebelumnya. Entin tampak seperti perempuan modern dengan segala perubahan yang di bawanya. Mulai dari pakaian dan prilaku, Entin mengekspresikan dirinya dengan memakai hot pant di lingkungan rumahnya, selain itu Entin juga diketahui sebagai perokok aktif walau tidak dilakukan didepan khalayak luas. Ini yang membuat masyarakat sekitar menghakiminya dibelakang, sehingga sebagian besar anak perempuan yang berada di lingkungan tempat tinggalnya di larang bergaul dengan Entin karena dikhawatirkan akan memberikan pengaruh buruk.

Kasus lain terjadi pada Bedah (bukan nama sebenarnya), perempuan baik dan sopan dari keluarga yang agamis. Walau dari keluarga yang agamis Bedah tidak pernah merasakan pahit manisnya pondok pesantren, karena Bedah lebih memilih untuk melanjutkan sekolah yang tidak berbasis IT Agar memudahkan ia kelak diterima dengan oleh berbagai perusahaan sebagai tempat ia bekerja. Maka dari pilihan tersebut, Bedah mendapatkan asumsi dari masyarakat sebagai anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya. Dari fakta kedua cerita perempuan tersebut, berbeda halnya dengan Seli (bukan nama sebenarnya). Seli perempuan berpendidikan dan berpakaian sopan. Namun tetap saja. Seli di nilai kurang memiliki budi pekerti yang baik terhadap orang lain, terlihat pada saat Seli berkomunikasi dengan teman sebayanya dengan menggunakan bahasa kekinian ( sebut saja anjay jancuk, asu dan lain sebagainya). 

Jika kita merujuk pada Pasal 28 J Ayat 1 yang berbunyi Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," Dari pasal tersebut kita bisa memaknai bahwa hak merupakan suatu perkara yang di lakukan oleh manusia secara berulang-ulang dalam keadaan sadar dan dapat diterima tanpa mengganggu kepentingan umum. Dengan adanya kepastian hukum seperti ini, perempuan akan lebih bebas mengekspresikan diri dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya tanpa merugikan pihak manapun. Perempuan saat ini seolah-olah dituntut untuk bisa memenuhi persfektif masyarakat dari berbagai sudut pandang.

Namun pada realitanya, perempuan merasa sangat terbebani dengan adanya berbagai asumsi dari luar, yang sewaktu-waktu bisa saja menyerang kondisi mental perempuan jika harus mendengar setiap hari. Secara tidak langsung, hal ini menjadikan perempuan harus memenuhi standar dari definisi perempuan baik. Padahal hakikatnya, manusia mempunyai haknya masing-masing untuk mengekspesikan diri dalam bentuk apapun, dan kita harus menghargai hak asasi setiap manusia dalam bentuk dan kondisi apapun selagi tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Postingan Populer