Esai Mela Sri Ayuni | STATUS PERKARA HUKUM NYI HINDUN DAN KI JAED DITINJAU DARI PASAL 277 KUHP

Esai Mela Sri Ayuni


Lebih dari 350 tahun atau 3/5 abad, negara kita indonesia mengalami masa penjajahan. Namun, dengan semangat aksi yang dimiliki setiap warga negara. Indonesia resmi dinyatakan merdeka pada tahun 1945 dari masa pembudakan, kekerasan, penganiayaan, pemerasan dan lain sebagainya. Walau memang pada saat kemerdekaan indonesia tidak semua negara di belahan dunia mengakui, tetapi ini bukan menjadi faktor penghambat untuk mendapatkan legalisasi dari negara bagian timur, seperti mesir, palestina, suriah dan negara islam lainnya. Tak cukup sampai disini, kemerdekaan yang diraih indonesia tak terlepas dari bapak founding father kita yang terus konsisten dalam memperjuangkan hak-hak bangsa indonesia. 

Dampak daripada penjajahan yang dilakukan belanda memang banyak mengalami kerugian, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Tetapi, dari dampak itu. Belanda dengan penjajahannya mampu membawa pengaruh positif untuk ketertiban masyarakat pribumi. Misalnya, adanya payung hukum ( wetboek van strafrecht ) yang dikodifikasikan dan sahkan menjadi sumber hukum indonesia pada tahun 1945. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana atau yang sering disebut KUHP ini merupakan bentuk dari peninggalan sejarah. Memang sebenarnya KUHP ini bukan sumber hukum asli dari belanda, melainkan dari bangsa romawi yang dibawa ke prancis kemudian dibawa kembali oleh prancis ke belanda hingga sesampainya di indonesia. Apabila dilihat dari sejarah singkat asal mulanya hukum di indonesia, negara indonesia menganut tiga sistem hukum atau campuran diantaranya; Command law system ( Anglo Saxon ), Eropa kontinental ( Civil Law ), dan Hukum Islam.

Tetapi dari ketiga sistem yang dianut, tidak satu pun yang menjadi sumber hukum yang penuh dan utuh karena hingga saat ini masih menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat indonesia. Selain daripada itu, Indonesia juga masih menganut hukum adat, karena keberadaan hukum adat hadir jauh sebelum hukum – hukum yang lain hadir. Oleh karena itu, keberadaan dan pemberlakuan hukum adat hanya diterapkan kepada masyarakat adat saja, tidak menyeluruh dan tidak sama. Karena dengan keberagaman dan faktor geografis wilayah yang menjadi pengaruh utama dalam perbedaan isi hukum adat tersebut. Tentu disesuaikan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. 

Karena hukum adat lahir sebelum hukum – hukum yang lain, maka bapak founding father kita seperti Ir. Soekarno dkk. Dengan semangat juang dan profesionalisme kepemimpinannya maka dapat menyatukan raja - raja dari kerajaan di nusantara. Yang dari hasil pertemuan ini, dapat merumuskan dasar negara kita yaitu Pancasila yang dikarang langsung Empu Prapanca dan Empu Tantular. Hingga kini Pancasila menjadi sumber hukum dari segala hukum yang ada di indonesia. Maka dari itu, Wetboek van Strafrecht atau yang diterjemahkan kedalam bahasa indonesia Kitab Undang- Undang Hukum Pidana hingga saat ini tetap berlaku keberadaannya walaupun dengan beberapa perubahan yang diatur guna menyesuaikan dengan kebutuhan bangsa indonesia. Oleh karenanya, dengan hukum yang berlaku pergerakan masyarakat indonesia  dibatasi agar tidak terjadi kesewenang- wenangan dan mampu memanusiakan manusia sesuai kodratnya. 

Namun, setiap manusia memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda, menghalalkan berbagai cara dengan mengandalkan akal, harta dan jabatannya untuk mendapatkan apa yang manusia inginkan. Pelanggaran- pelanggaran yang merajalela pada masa lampau hingga masa kini, seperti menjadi kebutuhan primer yang harus dikonsumsi setiap harinya, menyampingkan kebutuhan bersama untuk kepentingan pribadi tanpa melihat dampak yang akan terjadi dimasa depan. Tetapi perilaku apapun itu, siapapun itu jika menyalahi aturan yang berlaku maka sudah sepantasnya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, hukum harus ditegakkan walau langit harus runtuh. Seperti itulah kira- kira gambaran kecil untuk merepresentasikan keberadaan aturan sebagai payung hukum. Sepanjang perjalanan masa indonesia dari mulai orde lama hingga reformasi, pembentukan hukum akan terus mengalami amandemen melalui lembaga- lembaga negara. Perilaku manusia memang tidak bisa dikendalikan oleh orang lain, tetapi justru dengan adanya hukum dapat mengatur tindakan- tindakan manusia agar menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. Aturan hukum yang sudah tertulis atau pun yang belum tertulis, terkadang manusia melakukan pelanggaran baik yang disengaja atau pun tidak disengaja. Biasanya pelanggaran aturan hukum dilakukan berdasarkan kepentingan pribadi yang harus dipenuhi. 

Kehadiran seorang anak merupakan hal yang sangat dinantikan oleh setiap pasangan yang telah menikah, baik masih baru atau pun sudah lama dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tak terkecuali pasangan suami istri dari Nyi Hindun ( Bukan nama yang sebenarnya ) dan Ki Jaed (Bukan nama yang sebenarnya), sudah menikah secara agama dan negara sejak 10 tahun lalu. Keduanya merupakan seseorang yang bekerja disektor perdagangan, bahkan orang yang mengenal mereka sering menyebutnya dengan sebutan Bos Muda. Tetapi, dari semua kelebihan materi yang dimiliki oleh pasangan suami istri ini, tidak menjamin kehidupan mereka dengan bahagia dan utuh seperti kehidupan rumah tangga lain pada umumnya. 

Manusia sebagai makhluk sosial pasti akan berupaya semaksimal mungkin untuk kehidupan dimasa selanjutnya. Pasangan suami istri ini pun sama seperti manusia lainnya, yang menginginkan kehidupan layak dimasa tua. Tetapi permasalahannya, pasutri ini belum memiliki keturunan walau sudah 10 tahun usia pernikahannya. Oleh karena itu, diusia pernikahannya yang sudah tidak muda lagi, ditahun yang sama pun Nyi Hindun dan Ki Jaed mendapatkan kabar dari rekan kerjanya. Bahwa, ada seorang ibu yang sudah melahirkan di rumah sakit yang letaknya berada jauh dari kediaman Nyi Hindun dan Ki Jaed namun Si Ibu tidak dapat menebus bayinya di rumah sakit. Menurut kepercayaan manusia tradisional yang masih dipercayai hingga saat ini oleh sebagian orang merawat anak akan memancing mendapatkan adik. Artinya, apabila seseorang merawat bahkan hingga membesarkan seorang anak yang bukan anak kandung sendiri itu akan membuka pintu rizki pula berupa anak yang dilahirkan secara baik dari rahim Ibu yang merawat anak orang lain.

Maka dari itu, atas rekomendasi dari rekan kerja Nyi Hindun dan Ki Jaed maka Si Ibu diajak komunikasi untuk bekerja sama. Tidak ada pilihan lain, selain bisa ditebusnya seorang bayi tak berdosa yang baru lahir. Dengan keputusan final yang dibuat tanpa adanya tinta hitam diatas kertas Nyi Hindun dan Ki Jaed memberikan uang sekurangnya Rp. 15.000.000,- untuk biaya penebusan anak dan persalinan dengan jaminan bahwa bayi tersebut akan diberikan hak asuh penuh kepada Nyi Hindun dan Ki Jaed.

Setelah usai dari peristiwa hukum tersebut, tanpa membutuhkan waktu lama Nyi Hindun dan Ki Jaed membikin surat atau akta kepemilikan hak anak. Seperti Akta Kelahiran dan mencantumkan bayi ini kedalam daftar anggota keluarga sebagai anak kandung yang sah dari pasangan suami istri tersebut. Bayi ini sebut saja namanya Sasa ( Bukan nama yang sebenarnya ). Sasa tumbuh menjadi perempuan yang seutuhnya dari keluarga yang berkecukupan tanpa dia tahu bahwa dia sedang hidup bahkan tinggal seatap dengan orang lain, Sasa hanya bermain dan bergaul seperti anak pada umumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, saat ini Sasa sudah menginjak usia 17 tahun, yang sedang dekat dengan teman laki- lakinya atau sebut saja dia kekasihnya. 

Karena kekhawatiran Nyi Hindun dan Ki Jaed yaitu agar tidak terjadi fitnah dilingkungan masyarakat dan mencemarkan nama baik baik orang tua. Maka sebagai orang tua, Nyi Hindun dan Ki Jaed rela mengajukan dispensasi pernikahan ke kantor urusan agama agar Sasa bisa dinikahi secara sah baik ditinjau dari mata administrasi negara maupun agama. Sasa kini sudah memiliki adik dari pasangan Nyi Hindun dan Ki Jaed yang kini sudah berusia lebih dari 3 tahun dan merupakan anak asli dari Nyi Hindun dan Ki Jaed. Sasa sebagai anak perempuan pertama yang dimiliki oleh pasangan ini, akan segera dinikahi.

Indonesia sebagai negara hukum yang memiliki aturan dan norma sendiri dalam mengatur setiap persoalan yang terjadi di masyarakat. Dengan hal ini, sesuai yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi “ Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dapat kita artikan bahwa, tidak ada unsur pidana bagi tindak pidana jika belum ada Undang- Undang yang mengatur sebelumnya. Maka dari itu, untuk menghindari dari adanya delik atau peristiwa pidana dipergunakannya Pasal ini agar tidak ada peristiwa hukum yang dapat merugikan manusia sebagai subjek hukum dan badan hukum selaku aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, dalam setiap perkara khususnya dalam prosesi pernikahan harus tercantum dan terdaftar untuk mendapatkan legalitas baik dari kantor urusan agama maupun negara. Seperti yang kita ketahui diawal bahwa, Sasa merupakan anak angkat ( bukan anak kandung asli ). Tetapi justru, ini yang menjadi perhatian dalam pokok bahasan utama. Disini Sasa, tertulis dengan jelas bahwa dirinya sebagai anak kandung dari pasangan suami istri Nyi Hindun dan Ki Jaed dalam daftar nama anggota keluarga di Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran. Sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Maka, permasalahan ini bisa ditinjau dari dari Pasal 277 Ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan salah satu perbuatan sengaja membikin gelap asal-usul orang, diancam karena menggelapkan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun “. Oleh karenanya, Nyi Hindun dan Ki Jaed harus bisa mempertanggung jawabkan atas tindak perilaku pidananya. Kasus peristiwa pidana ini bisa tembus ke meja hijau sebagai bentuk upaya dari pertanggung jawaban pidana yang telah dilakukan oleh Nyi Hindun dan Ki Jaed.

Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku pelanggaran norma yang dilakukan oleh Nyi Hindun dan Ki Jaed, dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara maksimal 6 tahun penjara. Tetapi, kasus yang terjadi pada pasangan suami istri ini tak hanya menjerat dalam Pasal 277 Ayat (1) KUHP saja, melainkan merambat ke dalam Pasal 278 KUHP yang berbunyi “ Barang siapa mengaku seorang anak sebagai anaknya menurut peraturan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, padahal diketahui bahwa dia bukan bapak dari anak tersebut, diancam, karena melakukan pengakuan anak palsu, dengan pidana penjara paling lama tiga tahun”. Kemudian daripada itu, pelaksanaan Undang- Undang di bawahnya pun ikut menjerat kasus Nyi Hindun dan Ki Jaed yaitu seperti yang terdapat dalam Pasal 39 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pengangkatan Anak tidak  memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya . Pelanggaran norma yang berlaku ini dapat dikenai sanksi pidana  penjara paling lama 5 Tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.0000.000,-.

Seperti yang kita ketahui, bahwa Negara Indonesia merupakan negara jajahan Belanda yang menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental ( Civil Law ) yaitu dimana semua bentuk pelanggaran harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Artinya, peran hakim dalam menentukan kepastian hukuman tidak sepenuhnya dapat diserahkan kepada hakim, tentu ini jelas berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon ( Command Law ) walaupun memang dahulu sebelum adanya hukum tertulis negara kita menggunakan sistem hukum ini, dengan alasan untuk mengisi kekosongan hukum yang ada di Indonesia.

Maka dari itu, jika melihat lebih jauh dari persoalan tersebut, maka banyak sekali Undang-Undang yang mengatur mengenai pelanggaran penggelapan asal-usul anak. Dengan demikian Nyi Hindun dan Ki Jaed dituntut harus mampu memberikan pertanggung jawaban yang telah dilakukan. Terlebih ini menjadi persoalan publik yang harus dibenahi bersama agar tidak terjadi lagi peristiwa pidana seperti ini. Dengan ini aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus dengan menegakkan supremasi hukum yang sebenarnya tanpa harus memandang latar belakang dari Nyi Hindun dan Ki Jaed. 

Dengan pendekatan yuridis empiris. Maka dapat kita kaji lebih serius mengenai Pasal-Pasal yang telah disebutkan sebelumnya, alasan menggunakan pendekatan yuridis empiris yaitu karena adanya keterkaitan antara peristiwa pidana dengan pasal atau dokumen resmi negara yang tertulis. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan informasi, data, serta fakta yang bersifat primer dari tempat kejadian ( Locus Delicti ) yang bisa diajukan kepada aparat penegak hukum sebagai subjek hukum, tentu dengan didampingi oleh saksi yang bersangkutan. Oleh karena itu, proses penyelesaian perkara hukum harus berjalan dengan waktu yang efisien dan biaya murah. 

Kembali lagi ke persoalan Nyi Hindun dan Ki Jaed,  proses ini menuntut seoarang pelaku untuk memberikan pertanggung jawaban atas peristiwa pidana yang telah dilakukan. Disini, banyak Pasal yang memberatkan Nyi Hindun dan Ki Jaed. Dengan ini, pasangan suami istri dari Nyi Hindun dan Ki Jaed dapat dilaporkan ke pihak berwajib untuk diadili, bisa saja keduanya diberikan hukuman pidana penjara serta denda yang telah disepakati sebelumnya. Apabila Ki Jaed dipenjara mungkin bisa saja, tetapi bagaimana dengan status Nyi Hindun sebagai seorang ibu dari anak yang berusia empat tahun? ini akan menjadi pusat perhatian masyarakat apabila penyelenggaraan supremasi hukum tidak ditegakkan dengan seadil-adilnya. Dengan demikian, memang terdapat kecemburuan sosial yang mencolok pada status perkara hukum Nyi Hindun dan Ki Jaed. Adanya surat permohonan penangguhan penahanan ini diajukan kepada pihak berwenang karena mengingat pada status Nyi Hindun yang merupakan ibu dari anak yang berusia empat tahun. Maka dari itu, dengan dalih anak kandung yang berusia empat tahun masih membutuhkan peran orang tua sebagai pelindung serta pengasuh anak. 

Untuk Ki Jaed sendiri, mungkin proses akan lebih cepat terselesaikan dengan cara mengikuti semua prosedur yang berlaku pada peraturan perundang-undangan tertulis yang ada di Negara ini. Lantas, bagaimana dengan status dari istri Ki Jaed? Apakah Nyi Hindun sebagai terdakwa tidak dimintai pertanggung jawaban pidana? Bukankan peran supremasi hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh? ( Fiat justitia ruat caelum).

Apabila kasus ini dikaji dengan serius serta mendalam, maka yang paling menitikberatkan pada proses pemidanaan ini terjadi kepada Nyi Hindun. Perlu adanya pertimbangan dengan baik, apabila Nyi Hindun diberikan hukuman penjara. Karena mengingat pada Pasal 20 Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak Tahun 2014 yang berbunyi “ Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak “. Selain itu juga, seorang anak dibawah lima tahun tidak akan mendapatkan perlindungan apabila dibesarkan ditempat yang tidak seharusnya. Oleh karena itu, apabila ditinjau dari asas pembelaan (pledoi) maka sebagai aparat penegak hukum harus bisa mempertahankan apa pun itu yang sifatnya masih bisa dipertahankan, dengan demikian ini akan mencapai keadilan bersama. 

Maka dari itu, peran hakim dalam sidang di meja hijau sangatlah diperlukan guna menengahi delik pidana seperti ini. Proses berperkara dalam hukum pidana umumnya diawali dengan sebagai berikut: 1) Peristiwa pidana 2) Penyelidikan 3) Penyidikan) 4) Penuntutan 5) Pemeriksaan 6) Putusan dan kemudian dieksekusi. Berdasarkan dengan kondisi tersebut maka dapat digunakannya asas hukum pidana seperti peradilan yang dilakukan oleh hakim karena memiliki jabatan yang tetap. Dengan adanya bantuan dari salah satu kekuasaan negara delik pidana ini akan bisa diselesaikan. Namun, bagaimana apabila dari Nyi Hindun tidak mampu memberikan pertanggung jawaban pidana seperti sanksi dan denda sesuai dengan prosedur? apabila terjadi demikian, disini hakim dapat memberikan keringanan pidana seperti bebas bersyarat namun tetap wajib lapor seminggu sekali selama tujuh bulan secara rutin ke pihak berwajib terhadap saudari Nyi Hindun (Sanksi bebas bersyarat sebagai contoh). Karena hakim mempunyai wewenang penuh atas terdakwa dengan hiruk pikuknya perkara hukum yang menjerat, maka hakim dapat memutuskan apa pun itu yang bisa menyangkut kepentingan bersama atas dasar asas opurtinitas dari hukum pidana yang diterapkan di Indonesia.


Postingan Populer